Selasa, 20 Maret 2012

teori pembelajaran behaviorisme

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Behaviorisme
Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinspip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.[1]
Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu yang hanya dipandang dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional, behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.
Teori belajar behaviorisme adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.[2]
Lalu teori ini berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan teori pembelajaran, ini dikenal sebagai aliran behavioristik.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus (perubahan terjadi melalui rangsangan ) dan output yang berupa respon (yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif). Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa dan lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar, sedangkan respon berupa dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans,dan reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah
1.      Mementingkan faktor lingkungan
2.      Menekankan pada faktor bagian
3.      Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
4.      Bersifat mekanis
5.      Mementingkan masa lalu
6.      Mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil
7.      Mementingkan pembentukan reaksi atau respon
8.      Menekankan pentingnya latihan
9.      Mementingkan mekanisme hasil belajar
10.  Mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.
Pola Belajar Siswa Ditinjau Dengan Memperhatikan Teori Behavuorisme
Pola belajar siswa ditinjau dengan memperhatikan entering behavior, termasuk tahapan-tahapan perkembangan perilaku dan pribadi siswa, terutama yang bersangkutan dengan aspek-aspek kognitifnya. Gagne mengategorikan pola-pola belajar siswa dalam delapan tipe dimana yang satu merupakan prasyarat bagi yang lainnya yang lebih tinggi hiererkinya. Masing-masing tipe dapat dibedakan dari satu sama lain berdasarkan segi kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya proses belajar yang bersangkutan. Kedelapan teori belajar itu menurut Abin Syamsudin adalah sebagai berikut:[3]
Tipe 1: Signal Reaning ( Belajar signal atau tanda atau isyarat)
Tipe belajar ini menduduki tahap hierarki yang paling dasar, jadi teori ini tidak menuntut prasyarat, tetapi merupakan prasyarat bagi tipe-tipe yang lebih tinggi. Signal learning dapat didefinisikan sebagai proses penguasaan  pola-pola dasar perilaku yang bersifat tidak sengaja dan didasari tujuannya. Dalam pola perilaku ini terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ialah diberikannya stimulus (signal) secara serempak perangsang-perangsang tertentu secara berulang-ulang.
Tipe 2: Stimulus response learning ( belajar stimulus respons)
Apabila tipe belajar 1 di atas dapat digolongkan dalam jenis belajar classical condition, maka tipe balajar kedua ini termasuk instrumental ini termasuk dalam instrumental conditioning (Kimble, 1961) atau belajar dengan Trial and Eror ( Thorn dike)[4]. Misalnya anjing dapat melakukan jabat tangan ketika mendapatkan perintah tertentu dari pelatihnya. Gagne berpendapat bahwa proses belajar bahasa pada tahap anak-anak  menunjukkan proses belajar yang serupa dengan diatas. Jarak waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat sangat penting. Semakin singkat jarak S-R pertama dengan S-R berikutnya, semakin kuat reinforcement.
Tipe 3: Chaining ( mempertautkan) dan tipe 4: Verbal Association
kedua tipe belajar ini setaraf, yaitu belajar mengajar menhubungkan satu ikatan S-R yang satu dengan yang lain. Tipe tiga ini berkenaan aspek-aspek belajar verbal. Kondisi yag diperlukan bagi proses belajar ini, antara lain secara internal pada diri peserta didik harus sudah terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Di samping itu prinsip kesinambungan , pengulangan, renforcement masih tetap dianggap peran penting bagi berlangsungnya proses chaining dan association tersebut.[5]
Tipe 5: Discrimination learning( belajar mengadakan pembeda)
Dalam tahapan belajar ini peserta didik mengadakan diskriminasi ( seleksi dan pengujian) diantara dua perangsang atau lebih stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pula pola-pola sanbutan yang dipandangnya paling sesuai. Kondisi yang utama untuk dapat berlangsungnya proses belajar ininialah siswa telah mempunyai kemahiran melakukan chaining dan association serta memilki kekayaan pengalaman.
Tipe 6: cocept Learning (belajar konsep, pengertian)
Dengan diperolehnya kemahiran mengadakan diskriminasi atau pola-pola S-R itu peserta didik pada tipe 6 belajar mengidentifikasi persamaan-persamaan karakteristik dari sejumlah pola S-R tersebut. Selanjutnya, berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan juga objek-objeknya, ia membentuk suatu pengertian atau konsep. Kondisi utama yang diperlukan bagi berlangsungnya proses belajar tipe ini ialah terkuasainya kemahiran diskriminasi dan proses kog nitif fundamental belumnya. Secara eksternal ialah terdapatnya persamaan-persamaan cirri tertentu dari sejumlah perangsang dan objek-objek yang dihadapkan kepada individu.
Tipe 7: Rule Learning ( belajar membuat generasi, hukum-hukum, kaidah-kaidah)
Pada tingkat ini siswa belajar mengadakan kombinasi dari berbagai konsep pengertian dengan mengoprasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif, deduktif, analisis, sistesis, asoasiasi, diferensiasi, komperasi, dan kausalitas) sehingga peserta didik dapat menemukan kesimpulan tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai rule prinsip, dalil, aturan, hukum, kaidah, dan sebagainya.  
Tipe 8: problem solving ( belajar memecahkan masalah)
Pada tingkat ini peserta didik belajar merumuskan dan memecahkan masalah( memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik ) dengan menggunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya.
2.2 Tokoh-Tokoh Belajar Behaviorisme
1.      Ivan Pavlov
Pada akhir tahun 1800 an, Ivan Pavlov, ahli fisika Rusia, mempelopori munculnya proses konsidisoining klasik. Ivan Pavlov melakukan eksperimen terhadap anjing Ivan Pavlov melihat selama pelatihan ada perubahan dalam waktu dab rata-rata keluarnya air liur pada anjing. Pavlov mengamati, jika daging diletakkan dekat mulut anjing yang lapar, anjing tersebut akan mengeluarkan air liur. Hal ini terjadi karena daging telah menyebabkan rangsangan kepada anjing, sehingga secara otomatis ia mengeluarkan air liur. Walaupun hal tersebut tanpa latihan atau dikondisikan sebelumnya. Dalam percobaan ini daging dijadikan sebagai stimulus yang tidak terkondisikan dan keluarnya air liur anjing tersebut di jadikan sebagai respons yang tidak dikondisikan.[6]

Contoh situasi dari hasil percobaan tersebut pada manusia adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu tanpa disadari menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap bunyi-bunyian yang berbeda dari pedagang makan, bel masuk, dan antri di bank. Dari contoh tersebut diterapkan strategi Pavlo ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan. Sementara individu tidak sadar dikendalikan oleh stimulus dari luar. Belajar menurut teori ini adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang menimbulkan reaksi. Yang terpenting dalam belajar menurut teori ini adalah adanya latihan dan pengulangan. Kelemahan teori ini adalah belajar hanyalah terjadi secara otomatis keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan.

2.      Edward Lee Throndike
             Throndike adalah seorang pakar psikolog Amerika yang pertama kali mengadakan eksperimen hubungan S-R dengan hewan kucing melali  prosedur dan apparatus yang sistematis ( Fudyartuno, 2002). Eksperimennya yaitu: dilengkapi alat pembuka bila disentuh. Duluar kotak ditaruh daging. Kucing dalam kerangkeng bergerak ke sana kemari mencari jalan untuk keluar, tetapi gagal. Kucing terus melakukan usaha dan gagal., kelangsungan ini berjalan terus menerus. Pada suatu ketika kucing tanpa sengaja menekan sebuah tombol sehingga tanpa sengaja pintu kotak karengkeng terbuka dab kucingpun dapat keluar dan memakan daging di depannya. Percobaan tersebut menghasilkan teori Trial dan Error. Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error Yaitu : adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap berbagai situasi, ada eliminasai terhadap berbagai respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.
        Throndike menyatakan bahwa perilaku belajar manusia ditentukan oleh stimulus yang ada pada lingkungan sekitar sehingga menimbulkan respons sacara reflex. Stimulus yang terjadi setelah sebuah perilaku terjadi akan mempengaruhi perilaku selanjutnya. Dari eksperimen ini, throndike telah mengembangkan hukum law effect.[7]
Hukum law effect menyatakan bahwa jika kembaliah tindakan diikuti oleh perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, maka kemungkinan tindakan itu akan diulang kembali akan semakin meningkat. Sebaliknya, jika sebuah tindakan diikuti oleh perubahan yang tidak akan memuaskan, maka tindakan itu mungkin menurun atau tidak dilakukan sama sekali. Dengan demikian konsekuensi dari perilaku seseorang akan memainkan peran penting bagi terjadinya perilaku-perilaku yang akan datang.
Atas dasar percobaan di atas, Thorndike menemukan hukum-hukum belajar :
1) Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
Jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosaiasi cenderung diperkuat.
Contoh: siswa yang siap ujian, maka ia akan puas, tetapi jika ujiannnya ditunda, ia menjadi tidak puas.
2) Hukum Latihan
Hukum latihan akan menyebabkan makin kuat atau makin lemah hubungan S-R. Semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat dan juga berlaku sebaliknya apabila tingkah laku itu jarang digunakan maka asosiasi yang terjadi semakin rendah. Hukum ini sebenarnya tercermin dalam perkataan repetioest mater studiorum atau practice makes perfect.
Contoh : siswa yang belajar bahasa Inggris , semakin sering digunakan bahasa Inggrisnya, maka akan semakin terampil dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris. Tetapi jika tidak digunakan, maka ia tidak akan terampil berkomunikasi dengan bahasa Inggris.
3) Hukum akibat ( Efek )
Hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Rumusan tingkat hukum akibat adalah, bahwa suatu tindakan yang disertai hasil menyenangkan cenderung untuk dipertahankan dan pada waktu lain akan diulangi. Jadi hukum akibat menunjukkan bagaimana pengaruh hasil suatu tindakan bagi perbuatan serupa.
 Contoh : siswa yang mendapatkan nilai tinggi maka akan semakin besar juga minat siswa tersebut dalam memahami materi pelajarannya, namunjika siswa tersebut mendapatkan nilai rendah maka semakin rendah juga minat siswa tersebut terhadap pelajaran atau bahkan ia akan menghindari pelajaran tersebut.

3.      Burrhus Frederick Skinner
Skinner dilahirkan pada 20 Mei 1904 di Susquehanna, Pennsylvania, Amerika Serikat. Skinner memulai menemukan toeri belajar dengan kepercayaan bahwa prinsip-prinsip kondisioning klasik hanya sebagian kecil perilaku yang biasa dipelajari. Banyak perilaku manusia adalah operan, bukan responden. Kondisioning klasik hanya menjelaskan bagaimana perilaku yang ada dipasang dengan rangsangan atau stimuli baru, tetapi tidak menjelaskan bagaimana perilaku operan baru dicapai. [8] Pada dasarnya Skinner mendefinisikan belajar sebagai proses perubahan perilaku ( Gredler, 1986). Perubahan perilaku yang dicapai sebagai hasil belajar tersebut melalui proses penguatan perilaku baru yang muncul, yang biasanya disebut dengan kondisioning operan.
Pada tahun 1938, Skinner menerbitkan bukunya yang berjudul The Behavior of Organism. Dalam perkembangan psikologi belajar, ia mengemukakan teori operant conditioning. Buku itu menjadi inspirasi diadakannya konferensi tahunan yang dimulai tahun 1946 dalam masalah “The Experimental an Analysis of Behavior”.  Hasil konferensi dimuat dalam jurnal berjudul Journal of the Experimental Behaviors yang disponsori oleh Asosiasi Psikologi di Amerika (Sahakian,1970)
Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Skinner menganggap reward dan reinforcement merupakan faktor penting dalam belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal, mengontrol tingkah laku. Pada teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operant conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operant yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan.
Operant conditing menjamin respon terhadap stimuli. Bila tidak menunjukkan stimuli maka guru tidak dapat membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya. Guru memiliki peran dalam mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tercapai tujuan yang diinginkan.
Menajemen Kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yanag tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant ( penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Skinner membuat eksperimen sebagai berikut :
Dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yangdapat diatur nyalanya, dan lantai yanga dapat dialir listrik. Karena dorongan lapar tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selam tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping.[9]
Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Bentuk bentuk penguatan negatif antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang.
Prinsip belajar Skinners adalah :
1.      Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan jika benar diberi penguat. Pemberian penguatan tersebut harus diberikan pada saat yang tepat,sehingga respons pun sesuai dengan yang disyaratkan.
2.      Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul. Dan juga respon dan stimulus yang berangkaian satu sama lain.
3.      Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.
4.      Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.
5.      dalam pembelajaran digunakan shapping, proses pembentukan tingkah laku yang mendekati tingkah laku yang diharapkan.

4.      Edwin R Gutrie
           Pendapat Thorndike dan Pavlov ini ditegaskan lagi oleh Guthrie, di mana ia menyatakan dengan hukumnya yaitu “The Law of Association”, yang berbunyi : “A combination of stimuli which has accompanied a movement will on its recurrence tend to be followed by that movement” (Guthrie, 1952 : 13). Secara sederhana dapat diartikan bahwa gabungan atau kombinasi suatu kelas stimuli yang menyertai atau mengikuti suatu gerakan tertentu, maka ada kecenderungan bahwa gerakan itu akan diulangi lagi pada situasi/stimuli yang sama.[10]
Edwin R Gutrie adalah salah satu penemu teori pembiasaan asosiasi dekat. Teori ini menyatakan bahwa peristiwa belajar terjadi karena adanya sebuah kombinasi antara rangsangan yang disandingkan dengan gerakan yang akan cenderung diikuti oleh gerakan yang sama untuk waktu berikutnya ( Bell-Gredeler, 1986). Dengan kata lain teori ini menyatakan bahwa belajar adalah kedekatan hubungan antara stimulus dan responsnya yang relevan.[11]
Mencermati pernyataan di atas dapat dimengerti bahwa menurut Guthrie, belajar itu memerlukan hadiah (reward) dan adanya kedekatan antara stimulus dengan respons. Selain itu, adanya suatu hukuman (punishment) atas ketidakmampuan siswa dalam melaksanakan sesuatu tugas, ada sisi baiknya dan juga ada sisi buruknya. Efektif tidaknya (sisi baik) hukuman itu sangat tergantung pada apakah hukuman itu menyebabkan siswa menjadi belajar ataukah malah menjadi malas belajar.
Berdasarkan teori ini, yang menjadi tugas guru (agar menjadikan siswa belajar) adalah memberikan stimulus kepada siswa, agar nantinya siswa mau merespons dan ini memudahkan siswa untuk belajar. Stimulus yang diberikan ini dapat berupa penciptaan suatu media atau ilustrasi pada bidang materi tertentu.
Guru memberikan suatu lambang tertentu lalu diikuti dengan penjelasan dan lambang yang lain yang semisal dan semakna, maka dalam setiap kali berhadapan dengan lambang yang sama (sebagaimana yang diberikan oleh guru) dengan sendirinya siswa akan teringat lambang atau makna yang dimaksud.
Sebagai contoh, seorang pembina pramuka ingin menjadikan peserta didiknya hafal huruf-huruf Morse (dengan tidak memberikan materi huruf Morse sebagaimana yang ada dalam buku saku), pembina kemudian mengilustrasikan dan mengambil contoh pada huruf abjad tertentu, misalnya huruf “D”. Bagaimana huruf morsenya pada huruf “D” ini?. Kita dapat mengasosiasikan dan mengilustrasikan bagaimana proses pembuatan/penulisan huruf “D” ini. Yang terjadi kebiasaan orang dalam menulis huruf abjad “D” adalah dengan menggoreskan alat tulis berupa garis tegak lurus dari atas ke bawah, kemudian diikuti dengan garis melengkung setengah lingkaran menghadap ke kiri mulai dari atas ke bawah (mengarah pada gerakan tangan ke kanan).[12]
Dalam konteks ini, guru menerangkan bahwa garis tegak itu tandanya strip ( - ), sedangkan garis melengkung itu ternyata dapat dikatakan ada 2 (dua) garis datar (1 di atas dan 1 ada di bawah) maka 2 (dua) garis datar inilah yang menjadi lambang titik ( . . ). Dengan demikian, dapat ditarik suatu benang merah bahwa huruf morse abjad “D” adalah : - . . Sebagai pancingan ilustrasi lagi, bagaimana dengan morsenya huruf “B”. Sejurus kemudian kita akan dapat menyimpulkan bahwa lambang morsenya huruf “B” adalah - . . . . Hal ini karena dalam huruf “B” ada 1 (satu) garis tegak dan 3 (tiga) garis datar.[13]

5.            Carlk Hull
              Hull mengembangkan sebuah teori dalam versi behaviorisme. Ia menyatakan bahwa stimulus (S) mempengaruhi organism (O) dan menghasilkan  respons (R) itu tergantung pada karakteristik O dan S. Dengan kata lain, Hull telah berminat terhadap studi yang mempelajari variable intervening yang mempengaruhi perilaku seperti dorongan atau keinginan, insentif, penghalang, dan kebiasaan. Teori Hull ini disebut dengan teori mengurangi dorongan ( drive reduction theory). Seperti teori-teori behavior yang lain, dalam teori ini reinforcement dalam Drive Reduction Theory ini, pemenuhan dorongan atau kebutuhan lebih dikurangi dan mempunyai peran yang sangat penting dalam perilaku daripada dalam teori-teori belajar behaviorisme yang lain.[14]
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
Drive reduction Theory ini memilki beberapa prinsip, yaitu :
Ø  Dorongan merupakan hal yang penting agar terjadi respons  ( siswa harus memiliki keinginan untuk belajar)
Ø  Stimulus dan respons harus dapat diketahui oleh organism agar pembiasaan dapat terjadi 9 siswa harus memilki perhatian)
Ø  Respons harus dibuat agar terjadi pembiasaan ( siswa harus aktif)
Ø  Pembiasaan hanya terjadi jika reinforcement dapat memenuhi kebutuhan (belajar harus dapat memenuhi keinginan siswa).
2.3 Kritk atas teori behaviorisme
Ada sejumlah krtik yang disampaikan oleh para ahli kependidikan sehubungan dengan kelemahan yang melekat dalam teori behaviorisme, diantara kritik-kritik itu sebaagi berikut: [15]
1.      Behaviorisme tidak mengadaptasi berbagai macam jenis pembelajaran,  karena mngabaikan aktivitas pikiran.
2.      Behaviorisme tidak mamapu jenis pembelajaran, misalnya pengenalan terhadap pola-pola bahasa baru oleh  bahasa baru oleh anak-anak kecil, karena disini tidak ada mekanisme penguatan.
3.      Riset menunjukan bahwa binatang mampu mengadaptasikan pola penguatan mereka terhadap informasi baru.
4.      Seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks ,karena banyak variable atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang berperan terhadap perilaku siswa, tetpi pengaruhnya atau perananya tidak sekedar hubungan stimulus –respons. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan  S-R.
5.      Pandangan behaviorisme juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walauipun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama.
6.      Pandangan behaviorisme tidak memperhatikan pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang dapat diamati sebagai akibat hubungan S-R.
7.      Pandangan behaviorisme cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linear, konfirgen, tidak kreatif, dan tidak produktif.
8.      Bagi pendidik yang berpandangan agama sebagai landasan pendidikan anak manusia, behaviorisme dianggap bukan landasan pendidikan yang ideal, sebab menurut mereka aliran behaviorisme berciri pokok.
                   I.            Bersifat naturalistik yang menganggap dunia materi merupakan realitas yang sesungguhnya, segala sesuatunya dapat diterangkan melalui hukum-hukum alam, manusia tidak memiliki jiwa dan juga pikiran, yang ada hanyalah otak yang melakukan respons terhadap stimulus eksternal.
                II.            Behaviorisme mengajarkan bahuwa manusia tidak lebih seperti mesin yang melkukan respons terhadap kondisi rangsangan tertentu. Pandangan pokok behaviorisme adalah bahwa pemikiran, perasaan, minat dan seluruh proses mental tidak mennentukan apa yang kita lakukan. Perilaku kita semata-mata produk dari suatu kondisioniung, suatu rangsangan. Kita hanya mesin biologis yang tidak menyadari apa yang kita lakukan, kita hanya bereaksi terhadap stimulus. Skinner menegaskan bahwa atribut manusia sebagai makhluk spiritual tidak pernah ada.
             III.            Secara konsisten behaviorisme berpandangan bahwa kita tidak perlu bertanggung jawab terhadap apa yang kita perbuat karena kita hanya mesin yang melakukan tanggapan terhadap berbagai rangsangan diluar kita, tapi pikiran dan jiwa, kita bereaksi dilingkungan kita untuk mencapai tujuan tertentu. Sosiobiologi, sejenis behaviorisme membandingkan manusian dengan computer, jika sampah yang masuk, maka sampah pula yang keluar.
2.4 Dampak teori behaviorisme terhadap pembelajaran
Berbeda dengan disiplin mental, teori behaviorisme dalam pendidikan memiliki sejumlah besar pengikut sehingga memiliki implikasi yang nyata dalam pembelajaran. Bahkan harus diakui banyak pendidik diseluruh belahan dunia ini yang masih mempraktekan aliran behaviorisme .[16] Teori bihaviorisme dengan model hubungan S-R mendukung siswa sebagai individu yang pasif.
Pembelajaran yang berpijak yang dirancang berdasarkan teori behaviorisme memandang pengetahuan bersifat objektif, tetap, pasti dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar merupakan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Siswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama tentang pengetahuan yang diajarkan. Proses berpikir utama siswa adalah “meng-copy and paste” pengetahuan seperti apa yang dipahami pengajar.
Dalam proses belajar mengajar siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pengajar.  Oleh karena itu, kurikulum dikembangkan secara terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus diraih oleh siswa. Dalam penilaian (asesmen) hasil tes tulis, hasil uji kinerja yang dapat diamati (observable), sehingga hal-hal yang tidak teramati seperti sikap, minat, bakat, motivasi dan sebagainya kurang dijangkau oleh penilaian.
Langkah-langkah pembelajaran yang  berpijak  pada teori behaviorisme dan digunakan untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Pembalajaran (RPP) atau Rencana Pembalajaran (RP), antara lain seperti yang dinyatakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan (2001) esensinya meliputi:
a)      Menentukan tujuan pembelajaran, jika berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompensasi (KBK) yang juga dikembangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) hal ini dimulai dengan pemilihan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang harus dikuasai pembelajar, kemudian merumuskan indicator dan tujuan pembelajaran untuk mencapai standar tersebut.
b)      Menganalisis lingkuang kelas terutama adalah melakukan identifikasi perilaku awal (entry behavior) siswa. Hal ini dapat dilihat sebagai hasil refleksi atau penilaian terhadap materi pembelajaran terkait sebelumnya.
c)      Menentukan materi pelajaran (hal ini berbeda dengan sekuen KBK/KTSP);
d)     Merinci materi pembelajaran menjadi bagian kecil-kecil, meliputi pokok bahasan, subpokok bahasan, topic, dan lain-lain;
e)      Menyajikan materi  pelajaran, meliputi kegiatan pembukaan, inti dan penutup;
f)       Memberikan stimulus, rangsangan, dapat berupa pertanyaan, tes/kuis, latihan, dan tugas-tugas.
g)      Mengamati dan mengkaji serta menilai respon yang diberikan siswa.
h)      Memberikan penguatan (reinforcement) ataupun hukuman atau negative reinforcement;
i)        Memberikan stimulus baru berdasarkan penilaian terhadap respon sebelumnya;
j)        Mengamati, mengkaji, dan menilai respon baru yang diberikan oleh siswa.
k)      Bila dirasa tujuan pembelajaran telah dicapai dapat diberikan penilaian akhir.
Sementara itu para ahli psikologi pendidikan sepakat bahwa pembelajaran menurut konsep behaviorisme berlangsung dengan tiga langkah pokok,yaitu:
1.      Tahap akuisisi, tahap perolehan pengetahuan. Dalam tahap ini siswa belajar tentang informasi baru;
2.      Tahap retensi, dalam tahap ini informasi atau keterampilan baru yang dipelajari dipraktikkan sehingga sehingga dapat mengingatnya selama suatu periode waktu tertentu. Tahap ini juga disebut tahap penyimpanan (storage stage), artinya hasil belajar disimpan untuk digunakan di masa depan;
3.      Tahap transfer. Seringkali gagasan yang disimpan dalam memori sulit diingat kembali saat akan digunakan di masa depan. Kemampuan untuk mengingat kembali informasi dan menggunakannya dalam situasi baru (yaitu mentransfernya dalam pembelajaran yang baru) tampaknya memang memerlukan bermacam-macam strategi, tetapi kelihatannya amat bergantung kepada ingatan kita terhadap informasi yang benar.
Implikasi dari teori behavioristic dalam proses pembelajaran tetutama berupa dirasakan kurangnya memberi ruang gerakan yang lebih  bebas kepada siswa, sehingga kurang dapat berkreasi, melakukan inovasi, bereksperimentasi, melakukan eksplorasi untuk pembelajaran berhaviorisme amat bersifat mekanistik-otomatis dalam menghubungkan antara S dengan R, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibat lanjutnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensinya.


     
















BAB III
Kesimpulan

Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu yang hanya dipandang dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Teori belajar behaviorisme adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Pola belajar siswa ditinjau dengan memperhatikan entering behavior, termasuk tahapan-tahapan perkembangan perilaku dan pribadi siswa, terutama yang bersangkutan dengan aspek-aspek kognitifnya.
Teori behaviorisme dalam pendidikan memiliki sejumlah besar pengikut sehingga memiliki implikasi yang nyata dalam pembelajaran. Bahkan harus diakui banyak pendidik diseluruh belahan dunia ini yang masih mempraktekan aliran behaviorisme.
Dalam proses belajar mengajar siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pengajar.  Oleh karena itu, kurikulum dikembangkan secara terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus diraih oleh siswa.
Implikasi dari teori behavioristic dalam proses pembelajaran tetutama berupa dirasakan kurangnya memberi ruang gerakan yang lebih  bebas kepada siswa, sehingga kurang dapat berkreasi, melakukan inovasi, bereksperimentasi, melakukan eksplorasi untuk pembelajaran berhaviorisme amat bersifat mekanistik-otomatis dalam menghubungkan antara S dengan R, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibat lanjutnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensinya.


DAFTAR PUSTAKA
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, 2009 . (PT: Raja Grafindo Pustaka:Jakarta). H
Gage, N.L., & Berliner, D. Educational Psychology. Second Edition, (Chicago: Rand Mc. Nally), 1979.
Drs. A. Tabrani Rusyan, dkk, “Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar”, 1989, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Drs. H. Baharuddin, M. Pd. I. dan Esa Nur Wahyuni, M. Pd., “ Teori Belajar dan Pembelajaran”, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2010
Prof.Dr.Mukhlas Sumani, M.pd Belajar dan pembelajaran, Bandung, remaja Rosdakarya,2011
file:///G:/teori-belajar-behavioristik.html , diakses pada tanggal 17 maret 2012.
file:///G:/Teori%20Kondisioning%20Operan%20~%20Teknologi%20Pendidikan%20UIA.htm , diakses pada tanggal 17 maret 2012.


[1] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, 2009 . (PT: Raja Grafindo Pustaka:Jakarta). Hal. 92.
[2] Gage, N.L., & Berliner, D. Educational Psychology. Second Edition, (Chicago: Rand Mc. Nally), 1979.
[3] Drs. A. Tabrani Rusyan, dkk, “Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar”, 1989, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hlm 172
[4] Ibid, hlm 173
[5] Ibid, 173
[6]Drs. H. Baharuddin, M. Pd. I. dan Esa Nur Wahyuni, M. Pd., “ Teori Belajar dan Pembelajaran”, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2010, hlm 57.
[7] Ibid hlm 65
[8] Ibid hlm 67
[9] file:///G:/teori-belajar-behavioristik.html , diakses pada tanggal 17 maret 2012.
[11] Drs. H. Baharuddin, M. Pd. I. dan Esa Nur Wahyuni, M. Pd., “ Teori Belajar dan Pembelajaran”, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2010, hlm  78
[12] file:///G:/makalah-teori-belajar-aliran-psikologi.html , diakses pada tanggal 17 maret 2012.
[13] Ibid, diakses pada tanggal 17 maret 2012.
[14] Drs. H. Baharuddin, M. Pd. I. dan Esa Nur Wahyuni, M. Pd., “ Teori Belajar dan Pembelajaran”, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2010, hlm 84.
[15] Prof.Dr.Mukhlas Sumani, M.pd Belajar dan pembelajaran, Bandung, remaja Rosdakarya, Hal 68
[16] Ibid, Hal 69

Tidak ada komentar:

Posting Komentar