BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Akhlak ialah suatu sifat
yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya Timbul perbuatan-perbuatan dengan
mudah, dan tidak memerlukan pertimbangan akal pikiran lebih dahulu. Akhlak
terpuji umuya disama artikan dengan akhlakul karimah. Dimana setiap kesempatan
dan situsional orang berbicara tentang akhlak terpeju. Memang ini menarik untuk
dibicarakan, akan tetapi sulit untuk dipraktekan. Banyak hal yang dapat di
lakukan untuk mewujudkan akhlak atau perilaku terpuji dalam kehidupan
sehari-hari. Selain akhlak terpuji yang perlu kita tanamkan dalam kehidupan
sehari-hari. Selain akhlak terpuji yang perlu kita tanamkan dalan diri kita
adalah akhlak kepada pencipta, dimana itu berhubungan langsung dengan ketaatan
dan ketaqwaan kepada Pencipta yaitu Allah SWT.
Karena semakin majunya
zaman banyak generasi muda yang jauh dari ilmu agama, dan sering menyimpang
dari akhlak terpuji, perihak, negara kita perlu adanya generasi muda yang
beradaban tinggi dan berakhlak terpuji agar menjadi negara yang maju, makmur,
dan berbudi pekerti luhur, selain itu ternyata menerapkan perilaku terpuji juga
baik untuk kesehatan, baik kesehatan jasmani maupun rohani, oleh sebab itu,
saya mengangkat tema akhlak terpuji dan akhlak kepada Pencipta dalam kehidupan sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Tawadhu beserta contohnya?
2. Apa pengertian Ta’at beserta
contohnya?
3. Apa pengertian Qana’ah beserta
contohnya?
4. Apa pengertian Sabar beserta
contohnya?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui dan
memahami akhlak-akhlak terpuji dalam kehidupan sehari-hari seperti halnya
Tawadhu beserta contohnya.
2. Untuk mengetahui dan
memahami akhlak-akhlak terpuji dalam kehidupan sehari-hari seperti halnya Ta’at
beserta contohnya.
3. Untuk mengetahui dan
memahami akhlak-akhlak terpuji dalam kehidupan sehari-hari seperti halnya
Qana’ah beserta contohnya.
4. Untuk mengetahui dan
memahami akhlak-akhlak terpuji dalam kehidupan sehari-hari seperti halnya Sabar
beserta contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Akhlak
adalah perilaku lisan, perbuatan fisik, dan bahkan perbuatan diam juga termasuk
dalam kategori akhlak. Akhlak terpuji adalah perilaku baik yang dimiliki
seorang manusia. Akhlak terpuji merupakan bentuk
implementasi dari keimanan manusia. Allah sangat menyukai hamba-Nya yang
mempunyai akhlak terpuji. Akhlak terpuji dalam islam disebut sebagai akhlak
mahmudah. Bentuk dari akhlak terpuji, antara lain : Tawadhu’, Qana’ah, Taat,
dan Sabar.
A. Pengertian Tawadhu’
Sikap merendah tanpa menghinakan diri merupakan sifat yang sangat terpuji di hadapan
Allah dan seluruh makhluk-Nya. Merendahkan diri (Tawadhu’) adalah sifat yang sangat terpuji di
hadapan Allah dan juga di hadapan seluruh makhluk-Nya. Setiap orang mencintai
sifat ini sebagaimana Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Sifat
terpuji ini mencakup dan mengandung banyak sifat terpuji lainnya.
Tawadhu’ adalah ketundukan kepada kebenaran dan
menerimanya dari siapapun datangnya baik ketika suka atau dalam keadaan marah. Artinya, janganlah kamu memandang dirimu berada di atas semua
orang. Atau engkau menganggap semua orang membutuhkan dirimu.
Sehingga Tawadhu’
memiliki pengertian rendah hati.[1]
Selain itu, Tawadhu’ kepada Allah SWT adalah sikap merendahkan diri terhadap ketentuan-ketentuan
Allah SWT. Pada diri Rasulullah SAW banyak sekali sikap tawadhu’ sikap tawadhu’
yang beliau lakukan.[2]
Lawan dari sifat tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang
sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah mendefinisikan sombong dengan
sabdanya: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang
lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud ).
Jika anda mengangkat kepala di hadapan kebenaran baik dalam rangka
menolaknya, atau mengingkarinya berarti anda belum tawadhu’ dan anda memiliki
benih sifat sombong. Tahukah anda apa yang diperbuat Allah subhanahu wa ta’ala
terhadap Iblis yang terkutuk? Dan apa yang diperbuat Allah kepada Fir’aun dan
tentara-tentaranya? Kepada Qarun dengan semua anak buah dan hartanya? Dan
kepada seluruh penentang para Rasul Allah? Mereka semua dibinasakan Allah
subhanahu wa ta’ala karena tidak memiliki sikap tawadhu’ dan sebaliknya justru
menyombongkan dirinya.
Contoh dari sifat Tawadhu’ adalah: Dalam suatu
riwayat dikisahkan, bahwa pada waktu Nabi Muhammad SAW menunaikan ibadah haji,
beliau menunggu seekor unta jantan yang sangat sederhana. Unta itu tidak dilengkapi pelana yang serba mewah dan indah
sebagaimana dilakukan oleh raja-raja, melainkan hanya terhampar sehelai
permadani yang tipis. Di atas unta itu beliau berdoa,”Ya Allah jadikanlah
ibadah hajiku ini suatu ibadah yang tidak mengandung riya, takabur, dan angkuh”.[3] Hikmah yang dapat kita petik dari contoh
diatas adalah bahwa dalam beribadah selayaknya kita harus melaksanakannya
dengan dilandasi sikap tawadhu’ karena hal itu berdampak pada kesucian ibadah
yang imbasnya dapat kita rasakan dengan kenikmatan batin, sebab kenikmatan itu
dapat kita rasakan jikalau hati kita terhindar dari sikap riya atau pamer yang
ingin kita tonjolkan kepada orang lain.
ü Tawadhu’ di Hadapan
Kebenaran
Menerima dan tunduk di hadapan kebenaran
sebagai perwujudan tawadhu’ adalah sifat terpuji
yang akan mengangkat derajat seseorang bahkan
mengangkat derajat suatu kaum dan akan
menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.
Allah SWT berfirman:
Artinya: Negeri akhirat
itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat
kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang
yang bertakwa. (QS: Al-Qashash: 83)
Fudhail
bin Iyadh (seorang ulama generasi tabiin) ditanya tentang tawadhu’, beliau
menjawab: “Ketundukan kepada kebenaran dan memasrahkan diri kepadanya serta
menerima dari siapapun yang mengucapkannya.” (Madarijus Salikin, 2/329).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak
akan berkurang harta yang dishadaqahkan dan Allah tidak akan menambah bagi
seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan dan tidaklah seseorang
merendahkan diri karena Allah melainkan akan Allah angkat derajatnya.” (Shahih,
HR. Muslim no. 556 dari shahabat Abu Hurairah z)
Ibnul Qayyim
t dalam kitab Madarijus Salikin (2/333) berkata:
“Barangsiapa
yang angkuh untuk tunduk kepada kebenaran walaupun datang dari anak kecil atau
orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya maka kesombongan orang tersebut
hanyalah kesombongan kepada Allah karena Allah adalah Al-Haq, ucapannya haq,
agamanya haq. Al-Haq datangnya dari Allah dan kepada-Nya akan
kembali. Barangsiapa menyombongkan diri untuk menerima kebenaran berarti dia
menolak segala yang datang dari Allah dan menyombongkan diri di hadapan-Nya.”
ü Perintah untuk Tawadhu’
Dalam
pembahasan masalah akhlak, kita selalu terkait dan bersandar kepada firman
Allah SWT:
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (QS:Al-Ahzab:
21)
Dalam hal ini banyak ayat yang memerintahkan kepada
beliau untuk tawadhu’, tentu juga perintah tersebut untuk umatnya
dalam rangka meneladani beliau. Allah SWT
berfirman:
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang
yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman. (QS:As-Syu’ara: 215)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan
kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga seseorang tidak menyombongkan
diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim atas yang lain.” (Shahih, HR
Muslim no. 2588).
Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengingatkan kepada kita bahwa tawadhu’ itu sebagai sebab tersebarnya persatuan
dan persamaan derajat, keadilan dan kebaikan di tengah-tengah manusia
sebagaimana sifat sombong akan melahirkan keangkuhan yang mengakibatkan
memperlakukan orang lain dengan kesombongan.
Orang rendah hati akan mendapatkan kemuliaan dari Allah swt dan
juga dari manusia disekitarnya. Sebaliknya orang yang takabur, sombong akan
dibenci dan dijauhi serta dikucilkan oleh orang-orang disekitarnya. Bahkan orang
sombong tidak akan masuk surga, sebagaimana sabda Rasulullah saw :
“ Tidak akan masuk surga orang yang terdapat dalam hatinya sifat takabur (sombong ) walau
hanya seberat atom yang sangat halus sekalipun.” ( HR. Muslim )
Telah dibahas oleh para Ulama sifat tawadhu dalam karya-karya mereka
baik dalam bentuk penggabungan dengan pembahasan yang lain atau ,menyendirikan
pembahasanya. Diantara mereka ada yang membagi Tawadhu
menjadi dua :
1.
Tawadhu yang terpuji yaitu ke-tawadhu-an
seseorang kepada Allah dan tidak mengangkat diri dihadapan hamba-hamba Allah.
2.
Tawadhu yang dibenci yaitu tawadhu-nya sseorang
kepada pemilik dunia karena menginginkan dunia yang ada disinya. ( Bahjatun
Nazrin,1 / 657 ).
Sikap
tawadhu’ merupakan sebuah sikap pengakuan seorang, hamba bahwa segala sesuatu
di dunia ini semuanya hanya milik Allah semata sehingga kita sebagai seorang
hamba tidak patut terlalu membangga-banggakan apa yang telah Ia titipkan, sebab
sikap jelek yang seperti inilah yang nantinya membawa kita dalam kelalaian
mengucap syukur terhadap apa yang telah di titipkan.
B. Pengertian Ta’at
Taat berarti tunduk dan patuh untuk melaksanakan apa yang
diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Sifat taat dalam menjalankan
perintah dan menjauhi segala larangan ini sangat diperlukan dalam kehidupan
beragama, dalam keluarga, bermasayarakat, maupun bernegara. Dalam
beragama seseorang diperintahkan untuk taat kepada Allah SWT dan
rasul-Nya, denganmelaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Orang
yang taat akan tetap melaksanakan shalat dalam keadaan sesibuk
apapun, orang yang taat juga tetap menjalankan puasa
walaupun merasakan lapar dan dahaga. Orang yang taat juga senang
berzakat dan berderma walaupun kalau dihitung secaramatematis hartanya
berkurang, namun dia meyakini bahwa pada hakikatnya harta itu
tidak berkurang karena Allah SWT akan memberikan balasan yang lebih
banyak.
Beribadah secara Lillahitaalla
(ikhlas) selalu taat, merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri dan sangat disukai oleh Allah dan
Rasul-Nya. Taat secara bahasa adalah senantiasa
tunduk dan patuh, baik terhadap Allah, Rasul maupun ulil amri. Hal ini sudah tertuang
didalam:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(Qs An Nisa ayat 59)
Berpedoman pada sepotong firman
Allah diatas yang memerintahkan orang-orang yang beriman supaya selalu memurnikan ketaatan hanya kepada
Allah, Rasul maupun ulil amri. Soal pemimpin
yang bagaimana yang harus ditaati tsb ? tentu pemimpin yang juga taat kepada
Allah dan Rasulnya, lalu masih adakah pemimpin yang memiliki sifat seperti yang
di uraikan diatas ? yang lebih mengutamakan
kepentingan umum & rakyat badarai diatas kepentingan pribadi dan
keluarganya ?.
Taat pada Allah tidak hanya asal taat, didalam pelaksanaan
teknisnya harus benar dan sungguh-sungguh
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, dan dengan tampa alasan apapun menghentikan segala larangan-Nya. Sebenarnya
apa-apa yang menjadi perintah Allah
Taalla sudah tidak diragukan lagi pasti tersimpan sebagai kemaslahatan (kebaikan), sedangkan apa-apa yang menjadi larangan-Nya sudah
tertulis akan segala kemudharatanya (keburukan).
Kemudharatan (bencana alam dimana-mana) yang sering terjadi akhir-akhir ini merupakan imbas dari tidak menghiraukan segala
larangan Allah dan Rasul-Nya. Qs Al-lmran ayat 32 memperjelasnya :
Artinya: Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika
kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
Begitu juga
ketaatan kepada Rasul, yaitu
Rasulullah Saw dengan selalu meimplementasikan yang
terdapat dalam hadis beliau. Sebagai utusan Allah
Nabi Muhammad Saw mempunyai
tugas menyampaikan amanah kepada umat martusia tampa memandang status, jabatan, suku dsb.
Oleh karena itu bagi setiap muslim yang taat kepada Allah Swt harus melengkapinya dengan
mentaati segala perintah Rasullah saw sebagai utusan-nya. Sebagaimana yang
difirmankan:
Artinya: Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada
Rasul-Nya, jika kamu berpaling Sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (Qs At Taqabunan ayat 12)
Contoh Perilaku Taat adalah, di
dalam berkeluarga maka seluruh anggota keluarga harus taat kepada
tatanan keluarga, suami bertanggung jawab menafkahi dan menyayangi anak
istrinya.Istri taat kepada suami dan menjaga harta serta mendidik anak-anaknya
dengan baik, anak taat dan patuh kepada kedua orang tuanya. Sikap taat dalam kehidupan berkeluarga juga dapat diwujudkan dengan
menjalankan tugas di lingkungan keluarga dengan baik. Jika seluruh anggota
keluarga menerapkan sikap taat, maka akan terwujud keluarga
yang bahagia dan tenteram atau sakinah.
Penerapan sifat taat dalam kehidupan bermasyarakat adalah dengan
mematuhi peraturan dan menjaga ketertiban di lingkungan masyarakat. Jika
seluruh anggota masyarakat menerapkan sifat taat maka akan
tercipta lingkungan yang aman, tenteram dan damai. Suasana semacam
ini akan membuat seluruh anggota masyarakat merasakannya.
Demikan juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap
warga negara harus taat kepada pemerintah dan aturan-aturan yang berlaku.
Dengan demikian tujuan utama Allah SWT memerintahkan kita
agar menjadi orang yang taat adalah agar tercipta keidupan di dunia yang tenteram,
damai, aman, dan membahagiakan. Sebaliknya jika saja seluruh manusia
tidak memiliiki sifat taat, maka akan terjadi ketidakteraturan dan
kerusakan.
Allah Swt adalah adalah khalik,
pencipta alam semesta beserta isinya ini. Rasulullah Saw adalah utusan-Nya untuk seluruh
umat manusia bahkan kelahiran dari beliau Saw alam semesta ini mendapat rahmat yang tidak ternilai
harganya. Oleh karena itu siapapun yang telah berikrar (bersyahadad) maka
dengan sendirinya lahirlah suatu kewajiban dalam bentuk ketaatan kepada
keduanya dalam situasi dan kondisi apapun. Namun jenis ketaatan seperti yang disebutkan diatas akan lebih sempurna
kalau diiringi dengan ketaatan dan kepatuhan
kepada ulil amri atau pemimpin.
Ketaatan tersebut dalam artian
harus selalu taat dan mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditelurkan secara bersama,
tentu selam peraturan itu masih diatas nilai-nilai kemanusiaan dan tidak menyimpang
dari aturan agama Islam. Ketaatan itu bukan hanya harus diimplementasikan pada pemimpin
dalam artian luas saja dalam artian sempitpun harus menjadi keseharian kita,
seperti kepada orang-orang yang memiliki kuasa dan kedudukan yang lebih tinggi. Seorang
anak harus taat dan patuh pada kedua orang tuanya, murid kepada gurunya, istri kepada
suaminya agar kasus-kasus perceraian yang marak terjadi belakangan ini dan dengan
berbagai macam penyebabnya dapat diminimalisir Dari Tbnu Umar Ra. Nabi Muhammad Saw bersabda:
' Wajib bagi seorang muslim
mendengarkan dan taat sesuai dengan yang disukai dan apabila diperintah untuk menjalankan maksiat jangan
dengarkan dan jangan taati ". (Hr. Muslim).
Ketatatan yang kita lakukan kepada Allah, Rasul dan ulil
amri merupakan ketaatan yang akan berakibat
baik terhadap amal ibadah kita selama ketatan tersebut tidak diselimuti oleh berbagai bentuk kebohongan, penyakit hati,
kemunafikan.
Artinya: "Dan hamba-hamba tuhan yang maha penyayang itu adalah orang-orang
yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka.mereka
mengucapkan
kata-kata yang baik '. ( Qs Al Furqan-63 ).
Adapun ciri-ciri orang yang taat kepada
Allah yaitu :
· Selalu banyak
belajar
· Bersikap sabar
· Menerima dengan
ihtiar
· Merasa cukup
apa yang didapat
C. Pengertian Qana’ah
Dari segi bahasa, qana’ah berarti rela atau merasa puas.[4] Qana’ah
artinya rela menerima dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, serta
menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kurang yang berlebihan. Qana’ah
bukan berarti hidup bermalas-malasan, tidak mau berusaha sebaik-baiknya untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup. Justru orang yang Qana’ah itu selalu giat
bekerja dan berusaha, namun apabila hasilnya tidak sesuai dengan yang
diharapkan, ia akan tetap rela hati menerima hasil tersebut dengan rasa syukur
kepada Allah SWT. Sikap yang demikian itu akan mendatangkan rasa tentram dalam
hidup dan menjauhkan diri dari sifat serakah dan tamak. Nabi Muhammad SAW
Bersabda :
" Sesungguhnya beruntung orang yang masuk
Islam dan rizqinya cukup dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah Allah
berikan kepadanya. (H.R.Muslim)
Orang yang memiliki sifat Qana’ah, memiliki pendirian bahwa apa
yang diperoleh atau yang ada pada dirinya adalah ketentuan Allah. Firman Allah
SWT :
Artinya: Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya. (QS: Huud: 6)
ü Qana’ah dalam kehidupan
Sifat
Qan’ah bukan berarti malas bekerja dan berusaha. Namun sebaliknya, sifat
Qana’ah mendorong seseorang giat bekerja dan berusaha untuk memperoleh hasil
yang sebanyak-banyaknya dari hasil yang diterimahnya disyukuri dengan penuh
kerelaan, tidak pernah kesal dan jengkel. Dengan cara yang benar dan penuh
harap kepada Allah swt, ia akan mencurahkan segenap kemampuanya untuk mencapai
tujuan hidupnya. Orang yang memiliki sifat Qana’ah akan selalu merasa tentram
dan merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Dia meyakini bahwa pada
hakikatnya kekayaan atau kemiskinan tidak diukkur dengan banyak atau sedikitnya
harta, akan tetapi terletak pada klepangan hatinya dalam menerima dan
mensyukuri segala anugrah yang di berikan oleh Rasulullah saw. Bersabda yang
artinya sebagai berikut, “kekayaan itu bukanlah diasarkan atas banyaknya
harta benda, akan tetapi Qana’ah meliputi lima perkara, yaitu sebagai berikut :
Ø Menerima dengan rela apa
yang ada
Ø Memohon kepada Allah
tambahan rizki yang layak dan diiringi dengan ihtiar
Ø Menerima dengan sabar
semua ketentuan Allah
Ø Bertawakal kepada Allah
swt
Ø Tidak tertarik dengan
semua tipu muslihat duniawi
Sifat
Qana’ah merupakan bagian dari sikap mental yang penting dan sangat dibutuhkan
bagi pengembangan kepribadian seseorang. Oleh karena itu, sifat Qana’ah perlu
dibiasakan dan ditanamkan pada diri seseorang sedini mungkin agar dapat menjadi
bagian dari sikap hidupnya dan tidak terjerumus ke dalam sifat kserakahan,
ketamakan yang sangat dibenci oleh islam. Sikap Qana’ah ini juga menghindarkan
diri dari sifat-sifat yang dapat merendahkan martabat seperti labo dan tamak,
yang cirinya antara lain suka meminta-minta kepada orang lain seolah-olah masih
kurang puas dengan apa yang telah dianugrahkan Allah kepadanya. Rasulullah saw
bersabda :“ Qana’ah itu adalah simpanan yang tidak akan pernah lenyap.” (
HR.Thabrani ). Pentingnya qana’ah dalam hidup adalah menjadikan kita manusia yang tidak
mudah berputus asa, selalu maju, dan tidak tamak.
ü Fungsi Qana’ah
Sifat Qana’ah memiliki
peranan yang sangat penting bagi pembentukan kepribadian seseorang, dan
diantaranya sebagai berikut :
1.
Stabilisator, yaitu sebagai pengendali dari sifat serakah, tamak, dan
rakus. Sifat-sifat itu akan mendorong seorang menghalalkan segala cara demi
pemenuhan hasrat duniawi, misalnya korupsi, dan merampok. Orang-orang yang
bersifat Qana’ah akan terlepas dari sifat-sifat tersebut.sebaliknya akan merasa
kaya, berkecukupan, tenang, tentram, lapang dada, dan sabar.
2.
Dinamisator, yaitu kebutuhan batin yang mendorong seseorang untuk
memperoleh kemajuan-kemajuan hidupnya, baik untuk kepentingan dunia maupun
akhirat.
3.
Reflektor, yaitu pencerminan akan kedekatan diri kepada Allah swt dengan
perasaan takut dan penuh harap, perasaan cinta yang mendalam kepada Allah dan
Rasulnya. Cintanya kepada Allah dan Rasul-nya melebihi cintanya kepada orang
lain.
Contoh dari sifat Qana’ah
adalah Bulan lalu, ada seorang gadis di Bekasi, yang
nyaris mati karena bunuh diri.
Rupanya ia minta
dinikahkan dengan pujaan hatinya dengan pesta meriah. Karena ayahnya tak mau,
dia pun nekat bunuh diri dengan minum Baygon. Untung jiwanya terselamatkan.
Seandainya saja tak terselamatkan, naudzubillah min dzalik! Allah mengharamkan
surga untuk orang yang mati bunuh diri.
Si gadis tadi
rupanya menjadikan kemewahan pernikahannya sebagai sebuah prinsip hidup yang
tak bisa dilanggar. Sayang, gadis malang itu mungkin belum menghayati cara
Rasulullah menikahkan putrinya.
Pesta pernikahan
putri Rasulullah itu menggambarkan kepada kita, betapa kesederhanaan telah
menjadi “darah daging” kehidupan Nabi yang mulia. Bahkan ketika “pesta
pernikahan” putrinya, yang selayaknya diadakan dengan meriah, Muhammad tetap
menunjukkan kesederhanaan.
Bagi Rasulullah,
membuat pesta besar untuk pernikahan putrinya bukanlah hal sulit. Tapi, sebagai
manusia agung yang suci, “kemegahan” pesta pernikahan putrinya, bukan
ditunjukkan oleh hal-hal yang bersifat duniawi.
Rasul justru
menunjukkan “kemegahan” kesederhanaan dan “kemegahan” sifat qanaah,yang
merupakan kekayaan hakiki. Rasululllah bersabda, “Kekayaan yang sejati adalah
kekayaan iman, yang tecermin dalam sifat qanaah”.
D. Pengertian Sabar
Sabar adalah kemampuan menahan diri
dalam menanggung suatu penderitaan.[5] Seseorang juga dapat dikatakan sabar kecuali sesudah diuji dengan berbagai
macam ujian. Sabar juga dapat diartikan. Tabah dan sanggup, menderita dalam
menghadapi cobaan atau sesuatu yang disenangi dengan sikap rida, dan
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah s.w.t. orang yang tabah tidak pernah
mengeluh dan tanpa ada rasa putus asa, baik dalam keadaan senang maupun dalam
keadaan susah.
Nabi Muhammad saw dalam
menyiarkan agama islam selalu mengalami cobaan dan rintangan yang banyak
sekali,. Beliau dicaci maki, bahkan mendapat perlakuan kasar dengan dilempari
batu dan kotoran binatang ketika sedang mengerjakan sholat. Namun demikian
beliau tetap sabar dan dengan lapang dada serta hati yang bersih tetap
menjalankan tugasnya mengajak umat untuk masuk agama islam
Adakalanya orang tidak
sabar ketika diuji dengan kekayaan, dia merasa seluruh kekeyaan itu berasal
dari hasil kerja kerasnya siang malam tanpa kenal lelah. Dia melupakan Allah
sebagai pemberi Rezeki, dia menjadi sombong dan takabur dengan kekayaanya.
Sebagaimana firman Allah dalam surat AL- Fajr Ayat 15 :
Artinya: Adapun
manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, Maka Dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku". (QS: Al- Fajr: 15)
Adapula manusia yang
ketika diuji dengan kemiskinan dia tidak sabar. Dia merasa dihinakan oleh
Allah. Dia berputus asa dari rahmad Allah, sembari melontarkan kata-kata makian
kepada-nya. Sebagai firman Allah dalam surat AL- Fajr ayat 16 :
Artinya: “Dan adapun bila tuhanya mengujinaya lalu membatasi rizkinya maka
dia berkata : “ Tuhanku menghinaku ”. ( Qs. Al- Fajr : 16 )
Baik orang yang gagal
ketika diuji dengan kekayaan maupun orang yang gagal tatkala diuji dengan
kemiskinan tidak termauk golongan orang-orang yang sabar. Orang yang sabar
adalah orang yang tetap menjalankan perintah Allah dan menjahui laranganya
diwaktu kaya maupun diwaktu miskin, diwaktu senang maupundiwaktu susah, diwaktu
longgar maupun diwaktu sempit. Mereka inilah yang disebut sebagai orang-orang
yang bertaqwa dan akan mendapatkan ampunan dan surga dari Allah.
ü Macam- macam sabar :
1. Sabar dalam menjauhi
maksiat
Seorang muslim harus
bersabar untuk menjauhi maksiat. Walaupun keindahan maksiat menggodanya namun
dia haruslah tabah dan teguh meninggalkanya. Rasullulah saw bersabda sebagai
berikut : “Surga dikelilingi kebencian-kebencian hawa nafsu, sedangkan neraka
dikellingi oleh kesenagan-kesenangan hawa nafsu ” (HR. Muslim )
2.
Sabar dalam menjalani ketaatan
Sabar disini merupakan
sikap menahan diri dari berbagai kesulitan dan rasa berat dalam melaksanakan
ketaatan. Kesabaran dalam hal ini maknanya adalah senantiasa mentaati Allah
dalam keadaan bagaimanapun juga, sabar dalam taat ini juga mencakup kesabaran
didalam beribadah, berzikir, beramal sholeh dan lainya. Sebagaimana firman
Allah dalam (QS: Thaha: 132)
Artinya : “Dan pertahankanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakanya. Kami tidak meminta rizki kepadamu,
kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat ( yang baik ) itu adalah bagi
orang yang bertakwa”. ( Qs. Thaha : 132 )
3.
Sabar dalam menghadapi musibah
Seorang muslim adalah
orang yang bersabar manakala ditimpa musibah, Rasullullah saw. Menegaskan bahwa
sabar harus di lakukan pada saat-saat permulaan datangnya musibah. Apabila di
kali pertama itu dia mengeluh, meratap atau menghujat orang lain, maka dia
dianggap tidak bersabar
Artinya : “Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hak yang diwajibkan ( Oleh Allah ).” ( Qs Lukman : 17
)
Sabar dapat diwujudkan dalam :
Ø Sabar dalam menuntut Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan,
” Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha
menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekuarangan
harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam
upaya menimba ilmu dengan cara menghidari pengajian-pengajian, mencatat dan
memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.
Semoga Allah merahmati
Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, ” Ilmu itu tidak akan didapatkan
dengan banyak mengistirahatkan badan .”, sebagaimana tercantum dalam shahih
Imam muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang
terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubunganya jauh darinya, hanya karena
kegiatanya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang
mendapatkan anugrah kegiatan dari allah. ” ( Taisirul wushul, hal.12-13 )
Ø Sabar dalam Mengamalkan
Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan,
” Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar menghadapi
gangguan yang ada di hadapanya. Apabila dia melaksanakanya ibadah kepada Allah
menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida” wal
ahwaa” yang menghalagi di hadapanya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak
kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.
Sehingga gangguan berupa
ucapan harus diterimanya, dan kadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang
dengan kedu-duanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang
berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api,
maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong ” (
Taisiril wushul, hal.13 )
Ø Sabar dalam Berdakwah
Syaikh Nu’man mengatakan,
” Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah harus bersabar
menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya,karena disaat itu dia
tengah menempati posisi sebagaimana para Rosul. Waraqah bin Naufal mengatakan
kepada Nabi kita shallallahu ”alaihi wa sallam, ” Tidaklah ada seorangpun yang
datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan
disakiti orang .”
Sehingga jika dia mengajak
kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di hadapanya,
begitu pula para pengikut dan orang-orang yang menyenangkan perut mereka dengan
cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As sunnah maka akan
ditemuinya para pembela bi’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi
kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan diteminya para pemuja
syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan
kelompok mereka.
Mereka semua akan berusa
mnghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalagi mereka dari kesyirikan,
bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul,
hal.13-14 )
Ø Sabar dalam
kemenangan
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin rahimahullah berkata,
Artinya: "Allah ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya, "Dan sungguh telah didustakan
para Rasul sebelummu, maka mereka pun
bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai
tibalah pertolongan Kami." (QS. Al An'aam
[6]: 34).
Semakin besar gangguan yang diterima niscaya
semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan
bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da'i)
masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud.
Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang
muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu
ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya
serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da'i mi meskipun dia sudah
mati.
Maka wajib bagi para da'i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan
tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia
bersabar dalam menjalani agama Allah yang
sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya.
Lihatlah para Rasul shalawatullaahi
wa salaamuhu 'alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.
Allah ta'ala berfirman yang artinya, "Demikianlah, tidaklah ada
seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, 'Dia adalah
tukang sihir atau orang gila'." (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga
Allah 'azza wa jalla berfirman, "Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh
yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa." (QS. Al Furqaan [25]:
31). Namun, hendaknya para da'i tabah dan
bersabar dalam menghadapi itu semua..." (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal- 24)
Ø Sabar di atas Islam
Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu 4anhu yang
tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh
majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak
berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara
yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah
pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)
Lihatlah
keteguhan Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu yang dipaksa oleh ibunya
untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati.
Namun dengan tegas Sa'ad bin Abi Waqqash mengatakan, "Wahai lbu, demi
Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar,
sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini..." (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah,
inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh
menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.
Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini,
baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta,
kehilangan tempat tinggal atau
kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang
dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa
silam.
Mereka disakiti, diperangi, didustakan,
dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa
kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara, namun
sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka. Ingatlah firman Allah ta'ala yang artinya,
Artinya: "Dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan sebagai seorang muslim." (QS. Ali 'Imran [3] : 102).
Ingatlah juga janji Allah yang
artinya, "Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan
rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka." (QS. Ath Thalaq
[65] :23)
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, "Ketahuilah,
sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar.
Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan." (HR. Abdu bin Humaid
di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hai. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak 'ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba'in Ibnu 'Utsaimin, hal. 200)
Ø Sabar Menjauhi Maksiat
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, "Bersabar
menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan,
karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia
melakukannya. Dan tidaklah umat-umat
terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal
itu dikabarkan oleh Allah "azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur'an.
Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada
pula yang binasa karena
disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada
juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk
fisiknya (dikutuk)."
Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, "Syaikh memberikan
isyarat terhadap sebuah ayat,
"Maka masing-masing (mereka itu) kami
siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara
mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang
kami benamkan ke dalam bumi,
dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi
merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri." (QS. Al 'Ankabuut [29] : 40).
"Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat
kepada Allah tabaaraka wa ta'ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak
boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan
menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah
bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah
mendekatinya.
Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia
segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan
menyesalinya di hadapan
Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah
'azza wa jalla,
Artinya: "Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan
kejelekan-kejelekan." (QS. Huud [11] : 114).
Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, "Dan ikutilah kejelekan
dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya." (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih
5043)..." (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Ø Sabar Menerima Takdir
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, "Macam
ketiga dari macam-macam
kesabaran adaiah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta
hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan
melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus.
Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa
diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan
takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta..." (Thariqul
wushul,hal. 15-17)
Ø Sabar dan
Tauhid
Syaikh Al Imam
Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta'ala membuat sebuah
bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, "Bab Minal iman billah,
ash-shabru 'ala aqdarillah" (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah
termasuk cabang keimanan kepada Allah)
Syaikh Shalih bin Abdul 'Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta'ala mengatakan
dalam penjelasannya tentang bab
yang sangat berfaedah ini, "Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam
agama). la termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. la menempati
relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang
sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.
Hal ini
dikarenakan ibadah merupakan perintah syari'at (untuk mengerjakan sesuatu),
atau berupa larangan syari'at (untuk tidak
mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang
ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.
Hakikat penghambaan adaiah tunduk melaksanakan perintah syari'at serta
menjauhi larangan syari'at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang
dijadikan sebagai batu
ujian oleh Allah jalla wa 'ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian
ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.
Adapun ujian
dengan dibebani ajaran-ajaran agama adaiah sebagaimana tercermin dalam firman
Allah jalla wa 'ala kepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam
sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari 'lyaadh bin Hamaar. Dia berkata,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah bersabda "Allah ta'ala berfirman: 'Sesungguhnya Aku mengutusmu
dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu'."
Maka hakikat pengutusan Nabi 'alaihish shalaatu was salaam adaiah menjadi
ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya.
Ujian yang ada dengan
diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.
Untuk
melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal
kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan
takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab
itulah sebagian ulama mengatakan, "Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar
dalam berbuat taat, sabar dalam
menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang
terasa menyakitkan."
Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala
tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati
beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian
dari kesempurnaan tauhid.
Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir
Allah.
Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar
itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa
ditirapakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk
menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan
tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin
memberikan penegasan bahwa bersabar
dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya
juga wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, "Qutila
fulan shabran" (artitiya si polan dibunuh dalam keadaan "shabr") yaitu tatkala
dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan
atau peperangan. Dan demikianlah inti makna
kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar'i.
la disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan
untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota
badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam
bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek
kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari'at sabar artinya: Menahan lisan
dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari
menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain
semacamnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Di dalam al-Qur'an kata sabar
disebutkan dalam 90 tempat lebih.
Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan
ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar
tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak
sekali bagian keimanan"
Perkataan beliau "Bab Minal imaan, ash shabru 'ala aqdaarillah"
artinya: salah satu ciri karakteristik
iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah, Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga
bercabang-cabang. Maka dengan perkataan "Minal
imaan ash shabru" beliau ingin memberikan penegasa bahwa sabar termasuk
salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
yangmenunjukkanbahwaniyaahah (meratapi mayit)
itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran . sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang
keimanan. Meratapi mayit adalah sebuahcabang
kekafiran maka dia hams dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa
menyakitkan" (At Tamhiid, hal.389-391)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bisa disimpulkan bahwa
yang termasuk akhlak terpuji atau akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari
secara umu yaitu sabar, Qana’ah,
sedangkan menurut Syaikh Abdurrahman shidiq al Banjari yaitu tawakal, sabarr, ikhlas dan menjauhi riya,
tawadhu dan menjauhi takabur, syukur dan ridha, shidiq, mahabbah, zikir,
al-maut.
Sedangkan wujud dari
akhlak kepada pencipta dengan cara taat dan taqwa kepada-nya yaitu menjalankan
perintahnya dan menjauhi laranganya dan ternyata dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa memelihara akhlak terpuji dapat memelihara kesehatan,
contohnya pemaaf. Dengan menjadi seorang pemaaf, kita merasa lebih baik tidak
hanya batiniyah tapi juga jasmaniyah.
Setelah kita mengenal dan
mempelajari tentang kajian akhlak-akhlak terpuji, ternyata betapa indah dan
bermanfaatnya berperilaku terpuji bagi kehidupan dan bagi agama islam. Hidup
yang berpedoman pada agama merupakan petunjuk menuju kebahagiaan dunia dan
akhirat, jasmani maupun rokhani.
Dari semua penjelasan diatas maka dapat kita simpulkan
bahwa akhlak mahmudah merupakan suatu kewajiban yang diturunkan oleh Allah agar
dapat digunakan untuk menata kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Sehingga dengan akhlak mahmudah seseorang bisa menjalin hubungan
langsung dengan Allah maupun menjaga silaturahmi dengan sesama manusia agar
terjalin suatu ukhuwah yang kuat.
B. Saran
Setelah membaca makalah
ini diharapkan pembaca yang merasa dirinya beriman dapat lebih memahami
pengertian dan manfaat akhlak terpuji dan akhlak kepada pencipta sekaligus bisa
mewujudkan dalam kehidupan sehari hari.
DAFTAR PUSTAKA
Purwanto,Edi, Safuwoh,
Siti, 2008. Pendidikan Agama Islam Smp Jilid 3 Jakarta : Piranti
Subroto Didik, LKS
Insan Cendekia Akhidah Akhlak VIII Genap, Citra Mentari Malang
Departemen
Agama RI, Buku Pelajaran Aqidah-Akhlaq (MTs Jilid Ib),
Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI
LKS Pendidikan Agama Islam
CERAH SMP
LKS Pendidikan Agama Islam PRESTISE SMA
LKS Pendidikan Agama Islam GRAND STAR SMP
MGP Pendidikan Agama SMP.2007 ARUM. Magetan :
MGMP / MKKS SMP. Kabupaten Magetan.
[1] Didik
Subroto, LKS Insan Cendekia Akhidah Akhlak VIII Genap, Citra Mentari
Malang, p. 25.
[2] Departemen Agama RI, BUKU PELAJARAN
AQIDAH-AKHLAQ (MTS Jilid IB), Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama RI, hal 49
[4] Didik
Subroto, LKS Insan Cendekia Akhidah Akhlak VIII Ganjil, Citra Mentari
Malang, p. 19.
[5] Didik
Subroto, LKS Insan Cendekia Akhidah Akhlak VIII Ganjil, Citra Mentari
Malang, p. 16.
ok makalahnya mas bro gue suka yang ni........
BalasHapus