Jumat, 23 Maret 2012

pengertian hakim


BAB I
PENDAHULUAN
Yang melatar belakangi masalah ini adalah bagaimana kita menyikapi definisi tentang ma’na hukum yang sebenarnya. Di sini diungkapkan oleh beberapa ulama ushul fiqh yang dengan pendapatnya masing-masing, di sana kita dapat menyimpulkan arti dari kata hukum tersebut. Karena Hakim merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqih, karena berkaitan dengan “siapa pembuat hukum sebenarnya dalam  syari’at Islam”; “siapakah yang menentukan hukum syara”, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu. Dalam ilmu ushul fiqh, hakim juga disebut dengan syar’i.

Pembahasan yang paling penting yang berkaitan dengan hukum, yang pertama, yang paling mendesak untuk dijelaskan adalah pengetahuan tentang siapa yang menjadi rujukan sumber hukum, maksudnya siapa al-hakim itu, karena pengetahuan atas hukum dan kategorisasinya tergantung pada pengetahuan tentang al-hakim tersebut. Dan yang dimaksud dengan al-hakim disini bukanlah pemegang kekuasaan yang menerapkan semua hal yang dia memiliki kekuasaan atas hal tersebut, tapi yang dimaksud dengan al-hakim disini adalah yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan sesuatu. Sebab apa saja yang ada yang bersifat indrawi tidak akan keluar dari kategori sebagai perbuatan manusia atau sesuatu yang tidak termasuk perbuatan manusia. Ketika manusia dengan sifatnya sebagai manusia yang hidup di dalam alam semesta ini menjadi obyek bahasan, maka pengeluaran hukum adalah karena manusia dan berkaitan dengannya. Karenanya adalah merupakan keharusan adanya hukum atas perbuatan manusia dan sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia tersebut.
Definisi dari Syar’i adalah “titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan untuk berbuat dan ketentuan-ketentuan. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa “pembuat hukum” dalam pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia dan yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik hubungannya dengan kepentingan hidup dunia maupun untuk kepentingan hidup di akhirat. Baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah serta manusia dengan manusia dan alam sekitarnya. Serta dapa diambil kesimpulan bahwa pembuat hukum dalam Islam adalah Allah SWT.[1]
Hakim termasuk persoalan yang sangat penting dalam Ushul Fiqh, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syariat Islam, atau pembuat hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu Ushul Fiqh, hakim juga disebut dengan Syar’i.[2]














BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Hakim
Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Dalam istilah fikih kata hakim juga sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama hal ini dengan Qadhi.
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah Allah SWT. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surat al-An’am ayat 57:
إ ن الحكم إلا لله يقص الحق وهو خير الفا صلين ( ا لأ نعام:576)
Artinya:
“...menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah SWT. Dia yang menerangkan sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. (QS. Al-An’am/ 6:57)
Meskipun para ulama ushul sepakat bahwa yang membuat hukum adalah Allah SWT, tapi mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat Allah SWT hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya Rasulullah saw atau akal secara independen bisa juga mengetahuinya.[3]
Adapun sebelum datangnya wahyu, ulama berselisih peranan akal dalam menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi. Dalam Islam tidak ada syariat kecuali dari Allah SWT. baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum wadhi (sebab, syarta, halangan, sah, batal, fasid, azimah dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama’ hukum diatas itu semuanya bersumber dari Allah SWT. Melalui Nabi Muhammad saw maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori Istinbath, seperti qisas, ijma’ dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. dalam hal ini para ulama’ fiqh  menetapkan kaidah :
لاحكم الالله
Artinya
“tidak ada hukum kecuali  bersumber dari Allah SWT.”
Dari kaidah diatas, ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum sebagai titah Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan maupun wadhi’.[4]
Diantara alasan para ulama’ ushul fiqh untuk mendukung pernyataan diatas adalah, sebagai berikut:
1.      QS. Al-Maidah: 44
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
Artinya:
“barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah:44)
2.      QS. Al-Maidah: 49
واحكم بينهم بما أنزل الله...
Artinya:
“dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang ditunkan Allah,...” (QS. Al-Maidah:49)


3.      Diakhir ayat 45 surat al-maidah
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأو لئك هم الظالمون
Artinya:
“barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, mak mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (QS. Al-Maidah:45).

4.      Keharusan untuk merujuk kepada al-Qur’an dan sunah apabila terjadi perbedaan pendapat
...فان تنا زعتم فى شيئ فردوه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون باالله و اليوم الأ خر...
Artinya:
“...apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kiamat” (QS. An-Nisa’: 59)
5.      Keharusan untuk menggunakn hukum Allah SWT. dalam surat an-Nisa’: 65
فلا وربك لايؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجد وا فى انفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما.
Artinya:
“maka demi Tuhan-Mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisa’: 65)[5]
Dalam hal ini tidak ada perbedaan, yang mengatakan bahwa hakim itu adalah Allah SWT. Yang di perbedakan hanya tentang mengetahui hukum Allah SWT. Tentang perbedaan ini para ulama itu dapat dibagi menjadi seperti dibawah ini:
1)      Mayoritas Ulama’ Ahlusunnah wal Jamaah dan Mazhab al-Asy Ariah.
Mengatakan bahwa satu-satunya yang dapat mengenalkan hukum Allah kepada manusia adalah Rasul atau utusan Allah melalui wahyu yang diturunkan Allah kepadanya.sebagai kelanjutan dari pendapat ini adalah bila tidak ada Rasul yang membawa wahyu maka tidak ada hukum Allah, dan manusia pun tidak akan mengetahuinya. Menurut paham ini seorang manusia dapat dianggap patuh atau ingkar kepada Allah , mendapat dosa atau pahala bila telah datang Rasul membawa wahyu Allah dan belum ada hal-hal yang demikian sebelum datang Rasul.[6]

Akal manusia tidak bisa mengetahui yang baik dan yang buruk tanpa perantara Rasul dan wahyu-Nya. Alasan menurut pendapat ini adalah dalam surat al-Isra’(17:15)
وما كنا معذ بين حتى نبعث رسولا
Artinya: “ kami tidak akan mengadzab seseorang sebelum kami mengutus Rasul”.
Dalam ayat ini secara jelas Allah maniadakan perhitungan dan azab atau siksa terhadap seseorang sebelum kepadanya sampai (diutus ) seseorang Rasul yang membawa risalah Ilahi.[7]
2)      Madzhab Mu’tazilah
Pengikuti Washil bin Utha’(700-749 M). Madzhab ini beranggapan bahwa ada kemungkinan orang mengetahui hukum Allah dalam perbuatan mukallaf itu dengan sendirinya, tanpa perantara Rasul dan Kitab-Nya. Karena tiap-tiap perbuatan yang dikerjakan oleh mukallaf itu padanya terdapat sifat-sifat yang mempunyai kemampuan berfikir yang dapat membedakan mudharah dan manfaat. Maka hukumlah yang membedakan baik dan buruk.
Hukum Allah SWT terhadap perbuatan itu dapat diperhitungkan menurut akal yang mana bermanfaat dan mana yang mudharat, Allah meminta para mukallaf melakukan apa-apa yang bermanfaat kepada mereka menurut perhitungan akal mereka itu. Asas dari madzab ini ialah yang baik dikerjakan menurut pertimbangan akal, maka adalah baik, yang didalamnya ada yang bermanfaat, begitu pula sebaliknya.
Menurut mazhab ini, orang-orang yang tidak sampai seruan nabi kepadanya dan tidak pula disyariatkan, namun mereka ini tetap diberati oleh Allah melakukan menurut apa yang ditunjukkan oleh akalnya bahwa perbuatan itu adalah baik dan diberi pahala oleh Allah SWT. dari kalangan ini mengatakan bahwa, akal itu tidak mampu mengingkari setiap perbuatan, yang didalamnnya terdapat hal-hal khusus yang mempunyai pengaruh tentang baik dan buruk
Tidak sanggup akal mengkingakari bahwa Allah mensyariatkan hukumnya dalam segi perbuatan mukallaf itu tidak lain selain dari membina terhadap apa di dalamnya terdapat hal-hal yang bermanfaat atau yang mudharat.
Dalam pernyataan diatas, yang dikutip dalam buku ajar “memahami Sumber Hukum Islam yang Mukhtalaf” bahwa perbuatan mukallaf itu dapat dihukumi baik dan buruk salah satu tiga penetapan berikut ini:
1)      Ditetapkan oleh akal secara dharuri, yang dengan tidak perlu mengadakan penyelidikan secara mendalam, akal umum akan menerimanya.
2)      Ditetapkan oleh akal secara nadzari, yakni untuk menentukan salah atau benar masih perlu mamikirkan dan perenungan mendalam.
3)      Ditetapkan secara sama’i, yaitu berdasarkan pada apa yang telah ditetapkan oleh nash. Misal, shalat, puasa dll. Dan kejelekan meminum khamar dll.

Dengan demikian, menurut golongan Mu’tazilah bahwa orang mukallaf itu wajib melakukan perbuatan baik dan meninggalkna perbuatan buruk sesuai dengan penilaina akalnya. Allah akan memberi pahala atas perbuatan yang dianggap baik dan mamberi siksa atas melakukan perbuatan buruk menurut penilain akal. Dalam hal ini didasarkan pada firman Allah:

قل لا يستوى الخبيث والطيب ولو أعجبك كثرة الخبيث فا تقوا الله يااولى الأ لباب لعلكم تفلحون
Artinya:
“ Katakanlah: tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu . maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang ynag berakal, agar kamu dapat keberuntungan.” (QS. Al-maidah: 100)[8]

Kalangan Mu’tazilah, mengakui ada sejumah perbuatan yang tidak dapat diketahui baik dan buruknya oleh akal manusia, seperti ibadah dan tata caranya. Untuk masalah ini, peranan wahyu mutlak penting untuk menyingkap dan mengetahui baik dan buruknya ibadah dan tat caranya. Dalam ibadah, manusia harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh wahyu dan petunjuk dari Rasul-Nya.[9]
Akal memiliki kemampuan untuk menganalisis bagian-bagian dan memberi ketentuan hukum baik atau buruk secara general pada sebagian perbuatan. Karena manfaat suiatu perbuatan atau bahaya yang muncul darinya dirasakan oleh mayoritas masyarakat yang menerima pengaruh perbuatan itu, sehingga dengan pengaruh ini bisa memastikan karakter pada sebagian perbuatan , sebagai perbuatan adil dll.[10]

3)      Mazhab Maturidiah.
Yaitu pengikut Abu Mansur Maturidi, inilah mazhab pertengahan dan sederhana. Yaitu menguatkan ra’i (kemampuan berfikir), menurutnya perbuatan mukallaf itu di dalamnya terdapat hal-hal yang khusus, mampu untuk menentukan yang baik dan buruk. Hukum itu ikut menentukan bahwa mana yang baik dan mana yang buruk.
Ada orang menyetujui pendapat Mu’tazilah, menganggap baik dan buruk perbuatan itu tentang apa yang difikirkan oleh akal itu dibina atas yang bermanfaat dan yang memberi mudharat. Mereka memperdayakan mengatakan bahwa hukum Allah itu tidak dapat tidak adalah sesuai dengan hukum akal. Dan apa yang menurut akal itu baik inilah yang diminta Allah.
Orang-orang yang cocok dengan aliran Al Asy Ari yang menganggap bahwa tidak akan mengetahui hukum Allah kecuali dengan perantara rasul-rasul dan kitab-kitab-Nya. Perbedaan ini terjadi karena mereka beranggapan bahwa baik dan buruk itu bagi perbuatan syari’at bukan akal. Orang mengatakan perbuatan itu tidak dikatakan baik, kecuali diminta oleh Allah melakukannya begitu pula sebaliknya. Yang buruk adalah yang menimbulkan kemudharatan, disinilah letak perbedaanya.
Perbedaan ini dinisbatkan kepada orang yang belum sampai syariat Rasul. Adapun orang-orang yang sudah sampai kepada syariat Rasul, maka ukuran yang dipakai untuk menentukan yang baik dan yang buruk ialah dengan menisbatkan kepada apa yang terdapat dalam Syari’at. Bukan apa yang terdapat dalam fikiran. Apa yang diperintah oleh Syari’at maka itulah yang baik, hal itulah yang disuruh untuk dikerjakannya dan diberi pahala. Apa-apa yang dilarang oleh Syari’at maka inilah yang buruk, inilah yang disuruh untuk ditinggalkan dan akan dijatuhi sanksi karena melakukannya.
Perlu ditegaskan lagi, perbedaan pendapat diatas berkenaan dengan perbuatan manusia sebelum turunya wahyu. Perbedaan pendapat tersebut menjadi tidak relevan setelah turunnya wahyu, karena ketiga kelompok tesebut sependapat, setelah datangnya Rasulullah saw membawa wahyu, maka yang menjadi standar baik dan buruk adalah wahyu.[11]




















BAB III
PENUTUP
Imlikasi lain dari perbedaan pendapat di atas yang berkaitan dengan masalah hukum terletak pada masalah posisi akal dalam ijtihad, apakah akal dapat menjadi salah satu sumber hukum?. Ahlusunnah wal Jama’ah dan Maturidiyah berpendapat bahwa akal tidak dapat secara berdiri sendiri menjadi sember hukum Islam. Akan tetapi, menurut mereka akal berperan penting dalam menangkap maksud-maksud syara’ dalam mensyariatkan hukum dan menetapkan kaidah-kaidah umum dalam menggali hukum Islam, bukan sebagai penentu hukum.
Ada perbedaan pendapat dengan apa hukum diketahui, dalam hal ini ada 3 madzhab:
·         Madzhab Asy’ariyah, yaitu pengikut Abu Hasan al-Asy’ary menyatakan bahwa akal tidak mungkin mengetahui hukum Allah pada perbuatan-perbuatan mukallaf kecuali dengan perantaraan rasul dan kitab-Nya.
·         Madzhab Mu’tazilah, pengikut Washil bin Atha’ menyatakan bahwa akal dapat mengetahui hukum Allah tentang perbuatan-perbuatan mukallaf dengan sendirinya tanpa perantaraan rasul dan kitab-Nya.
·         Madzhab Maturidiah, pengikut Abu Manshur al-Maturidi, manyatakan di tengah-tengah kedua pendapat diatas (netral).[12]
·         Dari kesimpulan pembahasan di atas, hakim adalah Allah swt. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Dengan demikian, sumber hukum secara hakikat adalah Allah swt., baik hukum itu diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad saw. melalui wahyu, maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbat.

Dari perbedaan pendapat di atas yang berkaitan dengan masalah hukum terletak pada masalah posisi akal dalam ijtihad. Ahlussunnah wal Jama’ah dan Maturidiyyah berpendapat bahwa akal tidak dapat secara berdiri sendiri menjdi sumber hukum Islam. Akan tetapi, menurut mereka, akal berperan penting dalam menangkap maksud-maksud syara’ dalam mensyari’atkan hukum dan menetapkan kaidah-kaidah umum dalam menggali hukum islam, bukan sebagai penentu hukum.
Sedangkan Mu’tazilah dan Syi’ah Ja’fariah mengatakan bahwa akal merupakan sumber hukum Islam ketiga  setelah al-Qur’an dan Sunnah
Sumber-sumber hukum yang digunakan ini disandarkan pada nash, sehingga tidak diragukan lagi ketika dihadapkan dengan nash. Sementara itu, penetapan sumber-sumber hukum itu pun harus sesuai dengan nash. Dalam hal ini al-Qur’an merupakan sumber hukum yang pertama dari segala sumber, maka harus didahulukan atas segala sumber yang lainnya.[13]
Wallahu a’lam
















DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria (2009) Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Syafe’i, Rachmat (2007) Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia
Buku ajar, Memahami Sumber Hukum Islam yang Mukhtalaf
Khalaf, Syekh Abdul Manaf (2005) Terjemahan Ilmu Ushul Fiqh Jakarta: Rineka Cipta
Syarifuddin, Amir (1997) Ushul Fiqh Jilid I Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Firdauz (2004) Ushul Fiqh Jakarta: Zikrul Hakim
Jumantoro, totok dan Samsul Munir Amin (2005) Kamus Ilmu Ushul Fikih Jakarta: Amzah
Dahlan, Abd Rahman (2010) Ushul Fiqh Jakarta: Amzah
Biek, Syaikh Muhammad al-Khudari (2007) Terjemahan Ushul Fikih Jakarta: Pustaka Amani
Zahra, Abu Muhammad (1994) Terjemaha Ushul al-Fiqh Jakarta: Pustaka Firdaus



[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 347
[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 345
[3] Satria effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009). 68
[4] Rachmat Syafe’i, Op. Cit.,
[5]Rachmat Syafe’i, Op. Cit.,., 348.
[6] Amir Syarifuddin, Op. Cit,. 348
[7] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta : Logos Wacana Ilmu: 1997)., 289
[8] Ibid., 15
[9] Firdaus, ushul fiqh (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004)
[10] Syaikh Muhammad al-Khudhari Biek, Ushul Fikih  (Jakarta: Pustaka Amani, 2007),.40
[11]Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010)
[12] Totok Jumantoro & Samsul Munir Amin , Kamus Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Amzah, 2005)
[13][13] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993)., 96

1 komentar: