BAB I
PENDAHULUAN
Yang melatar belakangi masalah ini adalah bagaimana kita menyikapi
definisi tentang ma’na hukum yang sebenarnya. Di sini diungkapkan oleh beberapa
ulama ushul fiqh yang dengan pendapatnya masing-masing, di sana kita dapat
menyimpulkan arti dari kata hukum tersebut. Karena Hakim merupakan persoalan
mendasar dalam ushul fiqih, karena berkaitan dengan “siapa pembuat hukum
sebenarnya dalam syari’at Islam”; “siapakah yang menentukan hukum syara”, yang
mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu.
Dalam ilmu ushul fiqh, hakim juga disebut dengan syar’i.
Pembahasan yang paling penting yang berkaitan dengan hukum, yang pertama,
yang paling mendesak untuk dijelaskan adalah pengetahuan tentang siapa yang
menjadi rujukan sumber hukum, maksudnya siapa al-hakim itu, karena pengetahuan
atas hukum dan kategorisasinya tergantung pada pengetahuan tentang al-hakim
tersebut. Dan yang dimaksud dengan al-hakim disini bukanlah pemegang kekuasaan
yang menerapkan semua hal yang dia memiliki kekuasaan atas hal tersebut, tapi
yang dimaksud dengan al-hakim disini adalah yang memiliki otoritas untuk
mengeluarkan hukum atas perbuatan dan sesuatu. Sebab apa saja yang ada yang bersifat
indrawi tidak akan keluar dari kategori sebagai perbuatan manusia atau sesuatu
yang tidak termasuk perbuatan manusia. Ketika manusia dengan sifatnya sebagai
manusia yang hidup di dalam alam semesta ini menjadi obyek bahasan, maka
pengeluaran hukum adalah karena manusia dan berkaitan dengannya. Karenanya
adalah merupakan keharusan adanya hukum atas perbuatan manusia dan sesuatu yang
berkaitan dengan perbuatan manusia tersebut.
Definisi dari Syar’i adalah “titah Allah yang berhubungan dengan
tingkah laku orang mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan untuk berbuat dan ketentuan-ketentuan.
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa “pembuat hukum” dalam pengertian Islam
adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia dan yang menetapkan aturan-aturan
bagi kehidupan manusia, baik hubungannya dengan kepentingan hidup dunia maupun
untuk kepentingan hidup di akhirat. Baik aturan yang menyangkut hubungan
manusia dengan Allah serta manusia dengan manusia dan alam sekitarnya. Serta
dapa diambil kesimpulan bahwa pembuat hukum dalam Islam adalah Allah SWT.[1]
Hakim termasuk persoalan yang sangat penting dalam Ushul Fiqh,
sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syariat Islam, atau pembuat hukum
syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya.
Dalam ilmu Ushul Fiqh, hakim juga disebut dengan Syar’i.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Hakim
Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”.
Dalam istilah fikih kata hakim juga sebagai orang yang memutuskan hukum di
pengadilan yang sama hal ini dengan Qadhi.
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat
hakiki dari hukum syariat adalah Allah SWT. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an
surat al-An’am ayat 57:
إ ن الحكم إلا لله يقص الحق وهو خير الفا صلين ( ا لأ نعام:576)
Artinya:
“...menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah SWT. Dia yang
menerangkan sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. (QS.
Al-An’am/ 6:57)
Meskipun para ulama ushul sepakat bahwa yang membuat hukum adalah
Allah SWT, tapi mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang
dibuat Allah SWT hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya
Rasulullah saw atau akal secara independen bisa juga mengetahuinya.[3]
Adapun sebelum datangnya wahyu, ulama berselisih peranan akal dalam
menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi
pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi. Dalam Islam tidak ada
syariat kecuali dari Allah SWT. baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif
(wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah), maupun yang berkaitan dengan
hukum wadhi (sebab, syarta, halangan, sah, batal, fasid, azimah dan
rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama’ hukum diatas itu semuanya bersumber
dari Allah SWT. Melalui Nabi Muhammad saw maupun hasil ijtihad para mujtahid
melalui berbagai teori Istinbath, seperti qisas, ijma’ dan metode istinbath
lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. dalam hal ini para
ulama’ fiqh menetapkan kaidah :
لاحكم الالله
Artinya
“tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah SWT.”
Dari kaidah diatas, ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum sebagai
titah Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa
tuntutan, pemilihan maupun wadhi’.[4]
Diantara alasan para ulama’ ushul fiqh untuk mendukung pernyataan
diatas adalah, sebagai berikut:
1.
QS. Al-Maidah: 44
ومن لم يحكم بما
أنزل الله فأولئك هم الكافرون
Artinya:
“barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan
Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah:44)
2.
QS. Al-Maidah: 49
واحكم بينهم بما
أنزل الله...
Artinya:
“dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa
yang ditunkan Allah,...” (QS. Al-Maidah:49)
3.
Diakhir ayat 45 surat al-maidah
ومن لم يحكم بما
أنزل الله فأو لئك هم الظالمون
Artinya:
“barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang
diturunkan Allah, mak mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (QS.
Al-Maidah:45).
4.
Keharusan untuk merujuk kepada al-Qur’an dan sunah apabila terjadi
perbedaan pendapat
...فان تنا زعتم فى شيئ فردوه
الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون باالله و اليوم الأ خر...
Artinya:
“...apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah), jika kamu beriman
kepada Allah dan Hari Kiamat” (QS. An-Nisa’: 59)
5.
Keharusan untuk menggunakn hukum Allah SWT. dalam surat an-Nisa’:
65
فلا وربك
لايؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجد وا فى انفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا
تسليما.
Artinya:
“maka demi Tuhan-Mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisa’: 65)[5]
Dalam hal ini tidak ada perbedaan, yang
mengatakan bahwa hakim itu adalah Allah SWT. Yang di perbedakan hanya tentang
mengetahui hukum Allah SWT. Tentang perbedaan ini para ulama itu dapat dibagi
menjadi seperti dibawah
ini:
1)
Mayoritas Ulama’ Ahlusunnah wal Jamaah dan Mazhab al-Asy Ariah.
Mengatakan bahwa satu-satunya yang dapat mengenalkan hukum Allah
kepada manusia adalah Rasul atau utusan Allah melalui wahyu yang diturunkan
Allah kepadanya.sebagai kelanjutan dari pendapat ini adalah bila tidak ada
Rasul yang membawa wahyu maka tidak ada hukum Allah, dan manusia pun tidak akan
mengetahuinya. Menurut paham ini seorang manusia dapat dianggap patuh atau
ingkar kepada Allah , mendapat dosa atau pahala bila telah datang Rasul membawa
wahyu Allah dan belum ada hal-hal yang demikian sebelum datang Rasul.[6]
Akal manusia tidak bisa mengetahui yang baik dan yang buruk tanpa
perantara Rasul dan wahyu-Nya. Alasan menurut pendapat ini adalah dalam surat
al-Isra’(17:15)
وما كنا معذ بين حتى نبعث رسولا
Artinya:
“ kami tidak akan mengadzab seseorang sebelum kami mengutus Rasul”.
Dalam ayat ini secara jelas Allah maniadakan perhitungan dan azab
atau siksa terhadap seseorang sebelum kepadanya sampai (diutus ) seseorang
Rasul yang membawa risalah Ilahi.[7]
2)
Madzhab Mu’tazilah
Pengikuti Washil bin Utha’(700-749 M). Madzhab ini beranggapan
bahwa ada kemungkinan orang mengetahui hukum Allah dalam perbuatan mukallaf itu
dengan sendirinya, tanpa perantara Rasul dan Kitab-Nya. Karena tiap-tiap
perbuatan yang dikerjakan oleh mukallaf itu padanya terdapat sifat-sifat yang
mempunyai kemampuan berfikir yang dapat membedakan mudharah dan manfaat. Maka
hukumlah yang membedakan baik dan buruk.
Hukum Allah SWT terhadap perbuatan itu dapat diperhitungkan menurut
akal yang mana bermanfaat dan mana yang mudharat, Allah meminta para mukallaf
melakukan apa-apa yang bermanfaat kepada mereka menurut perhitungan akal mereka
itu. Asas dari madzab ini ialah yang baik dikerjakan menurut pertimbangan akal,
maka adalah baik, yang didalamnya ada yang bermanfaat, begitu pula sebaliknya.
Menurut mazhab ini, orang-orang yang tidak sampai seruan nabi
kepadanya dan tidak pula disyariatkan, namun mereka ini tetap diberati oleh
Allah melakukan menurut apa yang ditunjukkan oleh akalnya bahwa perbuatan itu
adalah baik dan diberi pahala oleh Allah SWT. dari kalangan ini mengatakan
bahwa, akal itu tidak mampu mengingkari setiap perbuatan, yang didalamnnya
terdapat hal-hal khusus yang mempunyai pengaruh tentang baik dan buruk
Tidak sanggup akal mengkingakari bahwa Allah mensyariatkan hukumnya
dalam segi perbuatan mukallaf itu tidak lain selain dari membina terhadap apa
di dalamnya terdapat hal-hal yang bermanfaat atau yang mudharat.
Dalam pernyataan diatas, yang dikutip dalam buku ajar “memahami
Sumber Hukum Islam yang Mukhtalaf” bahwa perbuatan mukallaf itu dapat dihukumi
baik dan buruk salah satu tiga penetapan berikut ini:
1)
Ditetapkan oleh akal secara dharuri, yang dengan tidak perlu
mengadakan penyelidikan secara mendalam, akal umum akan menerimanya.
2)
Ditetapkan oleh akal secara nadzari, yakni untuk menentukan salah
atau benar masih perlu mamikirkan dan perenungan mendalam.
3)
Ditetapkan secara sama’i, yaitu berdasarkan pada apa yang telah
ditetapkan oleh nash. Misal, shalat, puasa dll. Dan kejelekan meminum khamar
dll.
Dengan demikian, menurut golongan Mu’tazilah bahwa orang mukallaf
itu wajib melakukan perbuatan baik dan meninggalkna perbuatan buruk sesuai
dengan penilaina akalnya. Allah akan memberi pahala atas perbuatan yang
dianggap baik dan mamberi siksa atas melakukan perbuatan buruk menurut penilain
akal. Dalam hal ini didasarkan pada firman Allah:
قل لا يستوى الخبيث والطيب ولو أعجبك كثرة الخبيث فا تقوا الله يااولى
الأ لباب لعلكم تفلحون
Artinya:
“ Katakanlah:
tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu
menarik hatimu . maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang ynag berakal,
agar kamu dapat keberuntungan.” (QS. Al-maidah: 100)[8]
Kalangan
Mu’tazilah, mengakui ada sejumah perbuatan yang tidak dapat diketahui baik dan
buruknya oleh akal manusia, seperti ibadah dan tata caranya. Untuk masalah ini,
peranan wahyu mutlak penting untuk menyingkap dan mengetahui baik dan buruknya
ibadah dan tat caranya. Dalam ibadah, manusia harus mengikuti ketentuan yang
ditetapkan oleh wahyu dan petunjuk dari Rasul-Nya.[9]
Akal
memiliki kemampuan untuk menganalisis bagian-bagian dan memberi ketentuan hukum
baik atau buruk secara general pada sebagian perbuatan. Karena manfaat suiatu
perbuatan atau bahaya yang muncul darinya dirasakan oleh mayoritas masyarakat
yang menerima pengaruh perbuatan itu, sehingga dengan pengaruh ini bisa
memastikan karakter pada sebagian perbuatan , sebagai perbuatan adil dll.[10]
3)
Mazhab Maturidiah.
Yaitu pengikut Abu Mansur Maturidi, inilah mazhab pertengahan dan
sederhana. Yaitu menguatkan ra’i (kemampuan berfikir), menurutnya perbuatan
mukallaf itu di dalamnya terdapat hal-hal yang khusus, mampu untuk menentukan
yang baik dan buruk. Hukum itu ikut menentukan bahwa mana yang baik dan mana
yang buruk.
Ada orang menyetujui pendapat Mu’tazilah, menganggap baik dan buruk
perbuatan itu tentang apa yang difikirkan oleh akal itu dibina atas yang
bermanfaat dan yang memberi mudharat. Mereka memperdayakan mengatakan bahwa
hukum Allah itu tidak dapat tidak adalah sesuai dengan hukum akal. Dan apa yang
menurut akal itu baik inilah yang diminta Allah.
Orang-orang yang cocok dengan aliran Al Asy Ari yang menganggap
bahwa tidak akan mengetahui hukum Allah kecuali dengan perantara rasul-rasul
dan kitab-kitab-Nya. Perbedaan ini terjadi karena mereka beranggapan bahwa baik
dan buruk itu bagi perbuatan syari’at bukan akal. Orang mengatakan perbuatan
itu tidak dikatakan baik, kecuali diminta oleh Allah melakukannya begitu pula
sebaliknya. Yang buruk adalah yang menimbulkan kemudharatan, disinilah letak
perbedaanya.
Perbedaan ini dinisbatkan kepada orang yang belum sampai syariat
Rasul. Adapun orang-orang yang sudah sampai kepada syariat Rasul, maka ukuran
yang dipakai untuk menentukan yang baik dan yang buruk ialah dengan menisbatkan
kepada apa yang terdapat dalam Syari’at. Bukan apa yang terdapat dalam fikiran.
Apa yang diperintah oleh Syari’at maka itulah yang baik, hal itulah yang
disuruh untuk dikerjakannya dan diberi pahala. Apa-apa yang dilarang oleh
Syari’at maka inilah yang buruk, inilah yang disuruh untuk ditinggalkan dan
akan dijatuhi sanksi karena melakukannya.
Perlu ditegaskan lagi, perbedaan pendapat diatas berkenaan dengan
perbuatan manusia sebelum turunya wahyu. Perbedaan pendapat tersebut menjadi
tidak relevan setelah turunnya wahyu, karena ketiga kelompok tesebut sependapat,
setelah datangnya Rasulullah saw membawa wahyu, maka yang menjadi standar baik
dan buruk adalah wahyu.[11]
BAB III
PENUTUP
Imlikasi lain dari perbedaan pendapat di atas yang berkaitan dengan
masalah hukum terletak pada masalah posisi akal dalam ijtihad, apakah akal
dapat menjadi salah satu sumber hukum?. Ahlusunnah wal Jama’ah dan
Maturidiyah berpendapat bahwa akal tidak dapat secara berdiri sendiri menjadi
sember hukum Islam. Akan tetapi, menurut mereka akal berperan penting dalam
menangkap maksud-maksud syara’ dalam mensyariatkan hukum dan menetapkan
kaidah-kaidah umum dalam menggali hukum Islam, bukan sebagai penentu hukum.
Ada perbedaan pendapat dengan apa hukum diketahui, dalam hal ini
ada 3 madzhab:
·
Madzhab Asy’ariyah, yaitu pengikut Abu Hasan al-Asy’ary menyatakan
bahwa akal tidak mungkin mengetahui hukum Allah pada perbuatan-perbuatan
mukallaf kecuali dengan perantaraan rasul dan kitab-Nya.
·
Madzhab Mu’tazilah, pengikut Washil bin Atha’ menyatakan bahwa akal
dapat mengetahui hukum Allah tentang perbuatan-perbuatan mukallaf dengan
sendirinya tanpa perantaraan rasul dan kitab-Nya.
·
Madzhab Maturidiah, pengikut Abu Manshur al-Maturidi, manyatakan di
tengah-tengah kedua pendapat diatas (netral).[12]
·
Dari kesimpulan pembahasan di atas, hakim adalah Allah swt. Dia-lah
pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh
mukallaf. Dengan demikian, sumber hukum secara hakikat adalah Allah swt., baik
hukum itu diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad saw. melalui wahyu, maupun hasil
ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbat.
Dari
perbedaan pendapat di atas yang berkaitan dengan masalah hukum terletak pada masalah
posisi akal dalam ijtihad. Ahlussunnah wal Jama’ah dan Maturidiyyah berpendapat
bahwa akal tidak dapat secara berdiri sendiri menjdi sumber hukum Islam. Akan
tetapi, menurut mereka, akal berperan penting dalam menangkap maksud-maksud
syara’ dalam mensyari’atkan hukum dan menetapkan kaidah-kaidah umum dalam
menggali hukum islam, bukan sebagai penentu hukum.
Sedangkan Mu’tazilah dan Syi’ah Ja’fariah mengatakan bahwa akal
merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah al-Qur’an dan Sunnah
Sumber-sumber hukum yang digunakan ini disandarkan pada nash,
sehingga tidak diragukan lagi ketika dihadapkan dengan nash. Sementara itu,
penetapan sumber-sumber hukum itu pun harus sesuai dengan nash. Dalam hal ini
al-Qur’an merupakan sumber hukum yang pertama dari segala sumber, maka harus
didahulukan atas segala sumber yang lainnya.[13]
Wallahu a’lam
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria (2009) Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Syafe’i, Rachmat (2007) Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka
Setia
Buku ajar, Memahami Sumber Hukum Islam yang Mukhtalaf
Khalaf, Syekh Abdul Manaf (2005) Terjemahan Ilmu Ushul
Fiqh Jakarta: Rineka Cipta
Syarifuddin, Amir (1997) Ushul Fiqh Jilid I Jakarta: Logos
Wacana Ilmu
Firdauz (2004) Ushul Fiqh Jakarta: Zikrul Hakim
Jumantoro, totok dan Samsul Munir Amin (2005) Kamus Ilmu Ushul
Fikih Jakarta: Amzah
Dahlan, Abd Rahman (2010) Ushul Fiqh Jakarta: Amzah
Biek, Syaikh Muhammad al-Khudari (2007) Terjemahan Ushul
Fikih Jakarta: Pustaka Amani
Zahra, Abu Muhammad (1994) Terjemaha Ushul al-Fiqh Jakarta:
Pustaka Firdaus
[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), 347
[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 345
[3] Satria effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009). 68
[4] Rachmat Syafe’i, Op. Cit.,
[5]Rachmat Syafe’i, Op. Cit.,., 348.
[6] Amir Syarifuddin, Op. Cit,. 348
[7] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta : Logos Wacana Ilmu: 1997).,
289
[8] Ibid., 15
[9] Firdaus, ushul fiqh (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004)
[10] Syaikh Muhammad al-Khudhari Biek, Ushul Fikih (Jakarta: Pustaka Amani, 2007),.40
[11]Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010)
[12] Totok Jumantoro & Samsul Munir Amin , Kamus Ilmu Ushul Fikih (Jakarta:
Amzah, 2005)
شكراالكثر
BalasHapus