Sabtu, 24 Maret 2012


BAB I
PENDAHULUAN
Kebudayaan di Indonesia sangat banyak ragamnya, segala tindak tanduk kelakuan manusia mempunyai tata cara menurut kebudayaannya masing – masing, dan walaupun kebudayaan itu muncul pada abad – abad terdahulu, namun sampai sekarang masih ada yang di lestarikan oleh masyarakat indonesia, walaupun terkadang ada sebagian kebudayaan yang termakan oleh masa dan globalisasi.
Dalam karya ilmiah ini penulis akan membahas salah satu budaya yang masih di lestarikan hingga pada saat sekarang ini, yakni pada prosesi pernikahan pada adat jawa. Dalam prosesi pernikahan di adat jawa sangat banyak yang harus kita ketahui, karena selama ini mungkin ada sebagian di kalangan masyarakat yang menganggap pada prosesi pernikahan di adat jawa mengandung unsur – unsur negatif.
Namun disini akan dipaparkan oleh penulis tentang prosesi pernikahan dalam adat jawa, namun sebelumnya perlu kita ketahui bahwa budaya yang ada selama ini bukan hanya sekedar tata cara semata namun pastilah ada nilai – nilai pesan atau moral yang terkandung dalam budaya itu tersebut, contohnya saja pada judul yang akan di bahas oleh para penulis yakni, prosesi penikahan pada adat jawa.
Beranjak dari itu semua penulis menghanturkan banyak ucapan terima kasih terutama pada dosen pengampu mata kuliah Ilmu Budaya Dasar, yakni ibu Ni’matuz Zuhroh, M.Si . dan kepada teman – teman sejawat seperjuangan yang berperan dalam penyelesaian karya ilmiah ini, semoga karya ilmiah ini dapat menambah ilmu pengetahuan kita dalam bidang budaya. Dan penulis juga sadar bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini, oleh karena itu penulis berharap kritikan dari para pembaca untuk kemaksimalan makalah ini.

1.1 Latar Belakang Masalah
Di bumi Indonesia yang kaya akan ragam budaya, adat istiadat yang dimiliki beragam pula. Termasuk di dalamnya prosesi pernikahan. Adat Jawa misalnya. Kebanyakan orang hanya mengenal proses siraman dan midodareni. Padahal ada beberapa proses lain yang tak kalah pentingnya.
Proses pernikahan adat Jawa dimulai dengan Siraman yang dilakukan sebagi proses pembersihan jiwa dan raga yang dilakukan sehari sebelum ijab kabul. Ada 7 Pitulungan (penolong) yang melakukan proses siraman. Airnya merupakan campuran dari kembang setaman yang disebut Banyu Perwitosari yang jika memungkinkan diambil dari 7 mata air. Diawali siraman oleh orangtua calon pengantin, acara siraman ditutup oleh siraman pemaes yang kemudian memecahkan kendi.
Beranjak malam, acara dilanjutkan dengan Midodareni, yaitu malam kedua mempelai melepas masa lajang. Dalam acara Midodareni yang digelar di kediaman perempuan ini, ada acara nyantrik untuk memastikan pengantin laki-laki akan hadir pada ijab kabul dan kepastian bahwa keluarga mempelai perempuan siap melaksanakan perkawinan dan upacara panggih di hari berikutnya.
1.      Upacara Panggih
2.      Balangan suruh
3.      Wiji dadi
4.      Pupuk
5.      Sinduran
6.      Timbang
7.      Kacar-kucur
8.      Dahar Klimah
9.      Sungkeman


1.2  Rumusan masalah
1.      Bagaimana prosesi pernikahan panggih temanten di adat jawa ?
2.      Bagaimana upacara panggih temanten dilihat dari segi budaya ?
3.      Bagaimana prosesi panggih temanten di adat jawa menurut pandangan islam ?
















BAB II
KONSEPSI TEORI
Perkawinan merupakan hak dan sunnah kehidupan yang harus dilalui oleh seseorang dalam kehidupan "normalnya". Setiap manusia dewasa yang sehat secara jasmani dan rohani pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis kelaminnya. Teman hidup itu diharapkan dapat memenuhi hasrat biologisnya, dapat dikasihi dan mengasihi, serta dapat diajak bekerja sama mewujudkan sebuah rumah tangga yang tentram, dan sejahtera.
Dalam Bahasa Arab perkawinan disebut dengan nikah yang berarti berkumpul menjadi satu. Karena itu nikah secara istilah seringkali diartikan sebagai suatu aqad yang berisi pembolehan melakukan hubungan seksual dengan menggunakan lafal inkahin (menikahkan) atau tazwijin (mengawinkan).[1]
Peristiwa hukum berupa pernikahan dalam agama Islam dianjurkan dengan berbagai bentuk, mulai penyebutan sebagai sunnah para nabi dan rasul yang harus diikuti oleh setiap insan beriman atau sebagai bentuk ayat (tanda-tanda) kebesaran Allah.
Diantara bukti sahnya sebuah hubungan perkawinan adalah diadakannya acara resepsi perkawinan atau walimah. Pesta perkawinan pada tiap daerah memiliki cirri khas yang berbeda-beda.
Proses mencari jodoh dalam Islam tidaklah semudah “membeli kucing dalam karung”. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “Coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana  pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya.


A.    Akad Nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
            Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
            Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: 102)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: 1)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71)
B.     Walimatul ‘urs
Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah: Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing.”[2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.”[3]
Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru.
Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.”[4]
Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia.[5]





Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram. Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.”[6]
C.     Setelah akad
Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini:
Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha[7]
Kedua:  Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Ketiga:  Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah.
Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.[8]
Keempat:  Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.”[9]
Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian.

Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.”[10]





BAB III
STUDI KASUS
3.1 Prosesi Upacara Panggih Temanten
A. Bertemunya Pengantin
            Kata pengantin berasal dari bahasa jawa artinya menunggu, menunggu untuk dipertemukan dan dikawinkan dengan kekasih yang dicintainya. Disini perlu kami jelaskan bedanya pengantin dengan temanten. Temanten berasal dari kata temu artinya bertemu dengan kekasih yang ditunggu-tunggu. Istilah pengantin sebenarnya hanya dipergunakan dari saat pembicaraan perkawinan disepakati atau lamaran hingga sebelum panggih. Begitu sudah panggih kedua mempelai yang dilanda asmara itu sudah bertemu maka boleh disebut Temanten.
Upacara yang berarti bertemu ini melibatkan banyak pihak dan dihadiri banyak tamu undangan. Karena itu, maka segala upaya dikerahkan untuk bisa menyukseskan upacara ini. Dulu upacara panggih itu selalu diselenggarakan ditengah pintu diwaktu sore hari saat matahari terbenam. Hal itu dilakukan karena, saat itu adalah merupakan bertemunya antara siang dan malam, sekaligus dipakai sebagai lambing pertemuan antara pria dan wanita. Kini, acara pesta umumnya diselenggarakan pada siang atau malam hari, sebagai klimaks dari seluruh rangkaian acara yang ada, upacara ini diharapkan akan disaksikan oleh para undangan yang terhormat.
B. Sesaji Panggih
            Menyambut acara panggih, ada peralatan upacara yang harus disiapkan sebelum acara itu berlangsung, peralatan itu berupa :
  1. Gantal : yakni lintingan sirih yang diikat dengan benang yang didalamnya diisi dengan pinang muda, sirih yang digunakan bukan asal sirih, tapi sirih temu ros, yaitu yang sirih urat-urat bagian kanan kirinya saling bertemu.
  2. Bokor Mas : yakni bokor yang ukuran sedang berwarna kuning mas diisi air dan bunga setaman yang terdiri dari bunga mawar, melati dan kenanga.
  3. Kacar Kucur : yakni segala perlengkapan yang harus disiapkan untuk upacara kacar-kucur yang terdiri dari beras kuning,jagung,kacang hijau, kedelai hitam-putih, kluwak, kemiri, bunga telon, uang logam, tikar bongko, dan kain putih.
  4. Telur ayam : ditaruh diatas baki yang diberi taplak kain putih.
  5. Kain Sindur : yakni kain selendang untuk upacara sinduran.
C. Asrah Sanggan dan Kembar Mayang
            Sebelum upacara panggih dimulai, mempelai wanita sudah lebih dulu didudukkan di pelaminan bersama kedua orang tuanya. Sebelum memasuki upacara panggih, ada beberapa upacara yang dilakukan, yaitu menyerahkan sanggan dan cikal kepada ibu dan ayah mempelai wanita,serta menukar kembar mayang. Jika seorang pria mau menikah, dan telah memiliki mas kawin atau mahar, maka pasangan mempelai yang ingin mengikuti acara panggih kemantin harus dengan menggunakan kembar mayang.
            Para pengiring pengantin putra disusun dengan tata urutan sebagai berikut:
-          Seorang ibu yang membawa sanggan yang berupa pisang ayu dan sirih ayu sebagai symbol ungkapan sedya rahayu. Maksudnya, agar dalam berumah tangga keduanya diberkati dengan kesejahteraan yang lestari.
-          Pembawa dua batang cikal, yakni pohon kelapa muda yang baru tumbuh
-          Pembawa kembar mayang
-          Pengantin putra yang digandeng oleh dua orang pinisepuh.
-          Keluarga sekandung dan baru para keluarga dan kerabat dekat pengantin putra. Teman dekat atau pengiring lain berada diurutan belakang.
Sedangkan rangkaian kegiatan dalam prosesi panjang ini, adalah sebagai berikut : petugas yang membawa sanggan, cikal, maupun kembar mayang, mereka berjalan lebih dulu secara berurutan dan posisinya agak jauh dari posisi pengantin pitra dan rombongan. Sebelum tiba di upacara panggih, pengantin putra bersama rombongan berhenti, petugas pembawa sanggan, cikal, dan kembar mayang maju melakukan tugasnya.
      Pembawa sanggan menyerahkan kepada ibu mempelai putri, pembawa cikal menyerahkan bibit kelapa kepada ayah mempelai putri. Pembawa kembar mayang naik ke pelaminan menggantikan kembar mayang yang terpasang disitu dengan kembar mayang yang baru dibawanya, yang dimaksudkan agar kembar mayang yang berada dipelaminan tetap segar. Sedangkan kembar mayang yang lama sudah mulai agak layu dibuang ke perempatan jalan.
      Selesai mengganti kembar mayang, dengan digandeng kedua orang tuanya, mempelai putri menuju ke tempat upacara panggih. Dari arah berlawanan, mempelai pria digandeng dua sesepuh menuju tempat yang sama.
      Acara ini diiringi dengan gending kebo giro, ladrang wilujeng atau monggang. Alat yang digunakan untuk upacara sanggan berupa pisang ayu dan sirih ayu, cikal atau bibit pohon kepala serta kembar mayang. Waktu pengantin hendak dipertemukan diadakan bucalan gantal atau lempar-lemparan secarik sirih, ngidak tigan, wisuhan, kacar-kucur, pangkon timbang, kemudian dahar saklimah.
D. Adicara Bucalan Gantal
            pada tempat panggih kedua mempelai bersiap melakukan acara bucalan gantal, ada empat buah gantal tersedia masing-masing pengantin mendapat dua gantal yaitu, gantal gondhang asih dan gantal gondhang telur yang bermakna bahwa kedua mempelai secara lahir batin telah menyatukan tekad dan rasa yang utuh untuk menghadapi suka duka maupun pahit getirnya kehidupan berumah tangga, agar keduanya saling mengasihi dan member nasehat.
            Sirih temu ros, suatu simbolik , meski memiliki dua permukaan yang berbeda namun rasanya sama yang melambangkan bersatunyan rasa antara pria dan wanita. Pada zaman dahulu sirih merupakan penghubung silaturahmi dan kekeluargaan. Seorang jejaka yang jatuh hati kepada seorang gadis dan ingin memperistrinya maka jejaka itu mengirimkan daun sirihyang sudah dijadikan gantalkepada si gadis, apabila si gadis menerimanya maka, ia membalas dengan gantal pula. Dan yang melempar gantal lebih dulu adalah pengantin lelaki sebab yang melamar adalah pengantin lelaki.
            Pengantin wanita itu melempar ke kaki pengantin putra sebagai lambing tunduk kepada sang suami. Sedang pengantin putra melemparkearah jantung pengantin putrid sebagai lambing kasih sayang. Setelah acara ini, kemudian me;anjutkan pasang garu. Setelah melempar gantal kedua mempelai memasukkan kepalanya ke pasangan kepala sapi atau kerbau dalam garu, alat pembajak sawah. Pria sebelah kanan wanita sebelah kiri, acara ini diiringi gending ayak-ayak. Gantal adalah pinang yang dibungkus dengan daun sirih ros lalu diikat dengan benang lawe dan jika ada alat pembajak sawah/garu.
  1. Ngidak tigan lan wijik sekar setaman
Acara selanjutnya adalah upacara ngidak tigan, wijik dadi yang berarti injak telur, bibit jadi. Hal ini merupakan perlambang bahwa pengantin lelaki harus dengan tepat dapat memecahkan telur pengantin putrid sehingga berhasil menurunkan benih dan mendapatkan keturunan yang baik. Pengantin putra tetap erdiri dengan kaki diposisikan menginjak telur yang ditaru diatas nampan, sementara pengantin wanita jongkok didepannya.
Peristiwa ini memiliki banyak makna. Selain sebaga lambing, peralihan darimasa lajang kedua pengantin yang akan memasuki dunia kehidupan baru yang berat dan penuh tantangan. Upacara ngidak tigan ini juga sbagi symbol pemecahan slaput dara pengantin putri lewat pengantin putra. Kewajiban suami istri secara biologis dalam melanjutkan keturunan. Karena itu disaat menginjak telur itu pengantin putra berucap ambedha korining kasuargan, membuka gerbang surge.
Upacara ngidak tigan ini adalah upacara tradisional yang dilakukan utuk pengantin adat jawa. Sebagian masyarakat ada yang melanjutkan upacara ini dengan membrikan minum air putih dari kendi. Maksudnya, setelah nalarnya terbuka, pengantin diharapkan mampu memikirkan segala masalah dengan lebih hening dan tenang.
Cara ini diiringi gendhing kodhok ngorek. Gendhing ini bernuansa wibawa, agung, adiluhung dan membawa pendengar larut dalam indahnya irama katak yang sedang bernyanyi di kolam. Gendhing ini sering dilanjutkan dengan ketawang laras maya, sedangkan alat sesajinya adalah telur ayam. Agar pecahan telur ayam tidak mengotori lantai atau karpet, sebaiknya telur utuh itu dimasukkan kedalam plastic putih, tambahan lain kendi yang diisi air putih matang dingin.
Usai pengantin putra menginjak telur itu, pengantin putrid kemudian mencuci dan mengeringkan kaki pasangannya dengan handuk, baru kemudian dimasukkan kaki suaminya ke selop. Setelah itu pengantin putrid itu lalu sungkem. Ini sebagi lambing bakti seorang istri kepada suaminya. Dengan kaki yang sudah tercuci pengantin putra diharapkan bersih lahir batin saat mengikuti puncak acara itu.
Dengan mengulurkan tangannya, pengantin putra membangunkan pengantin putrid yang masih jongkok. Ini bermakna bakti pengantin putrid sangat dihargai oleh suaminya, sehingga ia pun mengangkat istrinya untuk berdiri sebagai mitra sejajar. Setelah itu tengkuk kedua mempelai si usap-usap dengan air setaman oleh kedua orang tua pengantin wanita. Hikmah yang tersirat adalah agar dalam menempuh hidup baru keduanya selalu diberi kesabaran, lapang dada dan ketenangan dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan seperti sifat air. Sedangkan bunga setaman yang harum itu sebagai lambing keluarga baru itu mampu menjaga nama harum keluarga, bangsa, dan agama.
Kedua mempelai langsung menyucikan tangannya didalam bokor yang berisi kembang setaman. Ini merupakan simbul kesucian niat lahir batin dakam menempuh hidup baru. Sebagai usaha pembekalan lahir batin dalam memasuki bahtera kehidupan yang sama sekali belum mereka kenal, mereka perlu mempersiapkan diri baik secara moral, material, maupun secara spiritual. Menurut tradisi kuno, waktu pengantin laki-laki datang, pengantin wanita harus menjemput diambang pintu, dibarengi dengan perbuatan tanda hormat dan bakti ialah ia bersembah, lalu berjongkok untuk membasuh kaki sang suami dengan air bunga setaman. Upacara ini sekarang diganti dengan saling berjabat tangan sebagai tanda saling mencintai dan menghormati.
Mengakhiri acara ini, mempelai wanita kemudian mengitari mempelai pria, sebagi symbol pelindung. Maksudnya, agar dalam membina bahtera rumahtangga kelak, suaminya perlu dilindungi agar tidak tergoda oleh wanita lain. Acara ini diiringi dengan gendhing kodhok ngorek cara balen. Sedangkan alat upacara berupa bokor berisi air kembang setaman atau kembang telon yang berisi bunga mawar, melati, dan kenanga lalu handuk kecil dan keset.
  1. Adicara sinduran lan Kacar Kucur
Sepasang pengantin kemudian saling berdampingan, pengantin putrid desebelah kiri dan pria disebelah kanan. Ibu pengantin putri mengenakan dan memegangi sindur dari belakang, sementara ayahnya berada di depan pengangtin berjalan pelan-pelan didepan. Dengan mengalungkan kain sindur dipundak mempelai ini sebagai symbol untuk menyatukan kedua mempelai menjadi satu.
Kedua kelingking sepasang mempelai itu, saling bergandengan, sementara tangan mereka yang lain memegang baju ayah pengantin putri. Secara sederhana sindur bisa berarti isin mundur atau malu bila mundur. Maksudnya, walau badai kehidu[an yang harus mereka hadapi sangat berat. Selain itu, kemul sindur memiliki makna yang cukup dalam. Kedua mempelai menyatu lahir batin dalam satu tujuan hidup, ibu yang berada dibelakang merestui pasangan itu, tut wuri handayani sementara sang ayah berada di depan sebagai teladan semuanya, ing ngarso sung tuladha.
Acara ini diiringi gending ketawang laras maya, alat upacara yang diperlukan adalah kain sindur acara berikutnya adalah upacara kacar-kucur. Upacara ini adalah lambing suami yang bertugas mencari nafkah untuk keluarga menyerahkan hasil jerih payahnya pada istrinya. Pengantin putra berdiri di depan istrinya dalam posisi agak menunduk lalu mengucurkan bungkusan kacar-kucur ke bentangan saputangan tuak di pangkuan pengantin putri. Dalam waktu yang hamper bersamaan, para pinui sepuh mengucapkan “Kacar-Kucur wong liyo dadi sedulur. Kacang kawak dele kawak, wong liyo dadi sanak”.

  1. Pangkon timbang lan dahar` saklimah
Dengan masih tetap diiringi musik gending ketawang laras maya, tahap berikutnya adalah pangkon timbang. Sebagain lambang bahwa kedua orang tua pengantin putri tidak membeda-bedakan antara anak sendiri dan menantu. Tatacara adalah sebagai berikut : ayah pengantin putri duduk di pelaminan dengan posisi lutut tegak siku-siku. Pengantin pria kemudian disuruh duduk dipaha kiri ayahnya. Acara ini dapat  juga diiringi dengan gending mugi rahayu. Isi gending ini adalah do’a pujian kepada suami istri agar dalam menjalani kehidupan rumah tangga mendapat kan berkah dfan keselamatan. Alat upacara yang dibutuhkan untuk acara ini adalah saputangan, klasa Bangka, uang frecehan logam, beras kuning, kedelai putih dan hitam, kacang hijau, kacang tolo. Kluwak, kemiri, dan kembang telon.
Ayah pengantin putri yang sudah berdiri dihadapan kedua mempelai lau didampingi oleh isteinya mendudukkan sepasang pengantin itu di pelaminan dengan menekan pundak, hal ini sebagai symbol kdua orangtua calon mempelai wanita telah mendudukkan pasangan pada tempat yang selayaknya, acara ini diiringi dengan gending udan basuki atau udan riris. Acara selanjutnya adalah Dhahar Saklimah yang memiliki makna kedua mempelai biasa hidup rukun, toltong menolong, dan saling mengisi. Pengantin saling membuat kepelan dari nasi punar lalu saling menyuapin sebanyak tiga kali. Yang artinya suami istri hendaknya membangun keakraban lahir batin dan saling menerima apa adanya.
  1. Adicara Sungkeman
Upacara sungkeman dilangsungkan sebagai wujud bahwa kedua mempelai akan patuh dan bernakti kepada kedua orang tua mereka, baik terhadap orang tua pengantin putrid atau putra. Sebelum melakukan sungkem, penagntin putra melepas kerisnya terlebih dahulu, sementara pengantin putrid melepas slopnya. Sungkeman dimjulai oleh pengantin putrid pada ayah dan ibu. Kalau masih ada, eyang baik dari ayah maupun ibu juga desungkemi. Setelah itu sungkem terhadap ayah mertua, dan ibu mertua, eyang dari pihak oengantin putrid kalau masih ada. Demikian kemudian dissusul oleh pengantin putrid mengikuti sungkem juga.
Kalau sajian makanan pada acara itu tidak prasmanan, maka tamu harus disediakan tempat duduk. Pada upacara sungkeman ini berlangsung pihak panitia bisa mulai mengeluarkan hidangan awal, seperti minuman dan snack. Pada saat ini juga bisa dipersiapkan acar hiburan, berupa music, tarian tradisional, atau sajian lagu-lagu.
Acara agung ini diiringi dengan music Langen Gita Sri Narendra, Ketawang Tumadah, atau Ladrang Sri Widada Laras Pelog Pathet Barang, atau nyanyian dan Dndhang Gula. Hiburan tarian cocok adalah tari Karonsih yang dibawakan sepasang remaja yang tampan dan cantik. Tari Karonsih ini sudah umum dan menjadi milik rakyat. Pada perhelatan pernikahan sering ditampilkan tarian tersebut. Tari Karonsih ini melambangkan pertemuan antara Raden Panji Inukertapatih dengan Dewi Sekartaji, yang telah lama berpisah.


BAB IV
4.1 ANALISIS
            Prosesi pernikahan di adat Jawa, jika dilihat memang sangat rumit namun, jika dilihat banyak pesan-pesan tersirat didalam prosesi tersebut. Selain pesan juga banyak do’a-do’a yang disampaikan melalui prosesi tersebut.
             Jika dilihat dari sudut pandang islam, pernikahan itu tidak serumit selayaknya pernikahan di adat Jawa. Karena pada pernikahan dalam islam, sah nya sebuah pernikahan dalam islam itu hanya dengan prosesi Ijab Kabul/Akad Nikah yang disetujui oleh kedua belah pihak orang tua dan disertai dengan saksi. Selain itu, ada salah satu prosesi pernikahan yang menurut adat Jawa harus dilakukan namun menurut Islam itu suatu hal yang bertentengan dalam syariat Islam. Contohnya, membuat Sesaji Pengantin yang beraroma mistis seakan mereka menyembah roh nenek moyang mereka.
Jika sesaji tersebut hanya sekedar sebagai lantaran ( wasilah ) supaya acara pernikahannya lancar tidak di ganggu jin penunggu serta masih beriktiqot bahwa pemberi keselamatan dan kemadhorotan adalah Allah maka hukumnya boleh tapi makruh, karena pelaksanaan tadi ada unsur idho’atul mal, kami tidak mengatakan haram sebab keharaman yang di timbulkan dari idho’atul mal itu jika tidak ada tujuan yang jelas sedangkan jika tujuannya menolak gangguan jin maka hukumnya tetap di perbolehkan.[11]
Sedangkan apabila sesaji tadi bertujuan mengagungkan tempat keramat tersebut serta ada iktiqot bahwa merekalah yang bisa melancarkan acaranya dan yang memberi keselamatan maka hukumnya haram.[12]
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan.
Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”. (Al-Maaidah : 50).
Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali-Imran : 85).




4.2 KESIMPULAN
            Dari pembahasan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwasannya, adat tetap adat dan syari’at tetaplah syari’at, walaupun dalam suatu upacara adat terdapat sesuatu yang menyimpang, agama tetaplah menjadi tolak ukur, dan ajaran atau peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Jadi, setiap acara  upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan yang selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat.


DAFTAR PUSTAKA

-          Jatman, Darmanto.1993.Sekitar Masalah Budaya.Bandung:Alumni.
-          Laksono, P.M.2002.Teori Budaya.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
-          Dhorini, Taufik Rohman.2006.Antropologi.PT.Ghalia Indonesia.
-          Hariwijaya, M.2005.Perkawinan Adat Jawa.Jakarta:Hanggar Kreator.


[1] Rasjid : 2004, hlm 174
[2] HR. Al-bukhari no. 5167 dan  Muslim no 3475
[3] HR. AL-bukhari no 5168 dan muslim no 3489
[4] HR. annasai no 3389 ibnu majah 1896 dihasansan al-imam al-bani rahimahullahu dalam al irwa’ no. 1994
[5] Syarhus sunnah 9/47,48
[6] HR At-TIrmidzi no. 1091 disahihkan oleh Al imam Al Al bani rahimahullahu dalam shahih sunnah at- tirmidzi
[7] HR Muslim no. 590
[8] (HR. Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)
[9](HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
[10] (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).
[11] Bajuri 1/366, Bujairomi ala al-minhaj 1/496&Al-jamal 2/200).
[12] (Siroj AL-tolibin 1/110)

pembahasan surat makiyah dan madaniyah


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sebelum di angkat menjadi Rasul, Muhammad tidak mengetahui apa yang di maksud dengan Al-Kitab dan apa yang di maksud dengan Al-Imam. Diwaktu umur 40 tahun, Muhammad di angkat menjadi Rasul dan di turunkan wahyu kepadanya. Karena dalam usia itu manusia mencapai kematangan berfikir, ketenangan hati, dan kemantapan hati, serta telah mempunyai pengalaman luas.
Sesudah kita mengetahui umur Nabi di waktu turun wahyu pertama, dapatlah kita dengan berangsur-angsur mengikuti masa-masa turunnya Al-Qur’an, marhalah demi marhalah.
Para Orientalis sengaja memunculkan keraguan tentang umur Nabi ini, supaya perkembangan dakwah Islamiyah di Mekkah tidak dapat di ketahui dengan pasti dan untuk meremehkan pengetahuan-pengetahuan yang berpautan dengan marhalah-marhalah wahyu yang terus menerus turun di Mekah dan kemudian terus menerus turun di Madinah.
Sebenarnya kita lebih memperhatikan dan mengetahui mana ayat-ayat yang termasuk Makkiyah dan mana yang termasuk Madaniyah, serta mengetahui ayat-ayat yang turun di Makkah tapi di hukumi Madaniyah, dan ayat yang turun di Madinah tai di hukumi Makkiyah. Serta mengetahui ayat yang mempunyai cirri-ciri mirip Makkiyah dan Madaniyah.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa definisi Makkiyah dan Madaniyah?
2.      Bagaimana cara mengetahui surat Makkiyah dan Madaniyah?
3.      Apa perbedaan surat Makkiyah dan surat Madaniyah?
4.      Apa kegunaan ilmu Makkiyah dan Madaniyah?
5.      Bagaimana perhatian para Ulama’ terhadap ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah?



1.3  Tujuan Masalah
1.      Mengetahui definisi Makkiyah dan Madaniyah
2.      Mengetahui cara-cara menentukan antara Makkiyah dan Madaniyah
3.      Mengetahui perbedaan antara surat Makkiyah dan Madaniyah
4.      Mengetahui kegunaan ilmu Makkiyah dan Madaniyah
5.      Mengetahui perhatian para Ulama’ terhadap ayay-ayat Makkiyah dan Madaniyah

























BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Ilmu Makkiyah dan Madaniyah
Ilmu al Makky wa al Madany di definisikan sebagai ilmu yang membahas klasifikasi surat-surat dan ayat-ayat yang di turunkan di Makkah dan Madinah. Di kalangan ulama terdapat beberapa pendapat tentang dasar (kriteria) untuk menentukan makkiyah atau madaniah suatu surat atau ayat.[1]
Sebagian ulama menetapkan lokasi turun ayat / surat sebagai dasar penentuan makkiyah dan madaniah sebagai berikut :makkiyah ialah surat atau ayat yang di turunkan di Mekah sekalipun sesudah hijrah, sedangkan Madaniyah ialah surat atau ayat yang di turunkan di Madinah . Definisi ini ada kelemahannya (tidak jamik dan manik), karena hanya mencakup semua ayat dan surat yang turun di daerah Mekah dan surat yang turun di daerah Madinah. Tetapi definisi tersebut tidak bisa mencakup surat atau ayat yang turun di luar daerah Mekkah dan Madinah. Misalnya surat At-Taubah ayat 43 dan surat Al-Zuhruf ayat 45.
Ada pula ulama yang menyatakan orang (golongan) yang menjadi  sasaran ayat / surat sebagai kriteria penantuan makkiyah dan madaniah. Mereka mendefinisikan makkiyah ialah surat atau ayat yang khitabnya (seruannya) jatuh pada masyarakat Mekah, sedangkan Madaniyah ialah surat atau ayat yang khitabnya (seruannya) jatuh pada penduduk Madinah. Definisi ini di maksutkan bahwa ayat/surat yang di mulai dengan ya ayyuhannasu adalah makkiyah karena penduduk Mekah waktu umum nya masih kafir.
Ada pula ulama yang menetapkan, bahwa masa turun ayat/surat  adalah merupakan dasar penentuan makkiyah dan madaniyah, maka mereka mendefinisikan Makkiyah adalah ayat/surat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sekalipun turunya di luar Makah Sedangkan  Madaniyah adalah surat atau ayat yang di turunkan sesudah Nabi hijrah, meskipun turunnya di Mekkah.[2] Definisi terahir inilah yang termasyhur (popular), karena mengandung bagian pembagian Makkiyah dan Madaniyah secara tepat.
Kendati definisi terahir ini di pandang paling sahih, namun secara objektif  harus di akui bahwa ketiga definisi ini mengandung tiga unsur yang sama : masa, lokasi dan sasaran ayat atau surat yang di turunkan. Bahkan mengandung unsur yang keempat, yakni topik (al maudhu’).

2.2 Cara-cara Mengetahui Surat Makkiyah dan Madaniyah
     Untuk membedakan antara surat Makkiyah dan Madaniyah dapat kita tentukan cirri-ciri yang khas untuk surat Makkiyah dan Madaniyah.
1.    Ciri khas surat Makkiyah
Sesuai dengan dhabit qiasi yang telah di tetapkan, maka ciri khas surat makkiyah ada dua macam, yaitu:
a.     Ciri yang bersifat qath’i.
b.    Ciri yang bersifat aghlabi.
Ada 6 ciri yang bersifat qath’i bagi surat makkiyah
a.    Setiap surat yang terdapat ayat sajdah di dalamnya, adalah surat makkiyah.         Sebagian ulama mengatakan, bahwa jumlah ayat sajdah ada 16 ayat.
b.    Setiap surat yang di dalamnya terdapat lafal “kalla”, adalah makkiyah
c.    Setiap surat yang terdapat di dalamnya lafal ya ayyuhannasu dan tidak ada ya ayyuhalladhinaamanu adalah makkiyah, kecuali surat al-hajj
d.   Setiap surat yang terdapat kisah-kisah para Nabi dan umat manusia yang terdahulu, adalah makkiyah kecuali surat al-Baqarah
e.    Setiap surat yang terdapat di dalamnya kisah Nabi Adam dan iblis adalah makkiyah, kecuali surat al-Baqarah
f.     Setiap surat yang di mulai dengan huruf tahajji (huruf abjad) adalah makkiyah, kecuali surat Al-Baqarah dan Al-Imran
Tentang surat al-Ra’dhu masih di permasalahkan, tetapi menurut pendapat yang lebih kuat, bahwa surar al-Ra’dhu itu makkiyah karena melihat gaya bahasa dan kandungannya.
Ada 5 ciri surat makkiyah yang bersifat aghlabi, yaitu:
a.    Ayat-ayat dan surat-suratnya pendek (ijaz), dan nada perkataannya keras dan agak beranjak.
b.    Mengandung seruan untuk beriman kepada Allah dan hari Kiamat dan menggambarkan keadaan surge dan neraka.
c.    Mengajak manusia untuk berahlak yang mulia dan berjalan di atas jalan yang baik (benar).
d.   Membantah orang-orang muyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan kepercayaan dan perbuatannya.
e.     Terdapat banyak lafal sumpah

2.    Ciri khas surat Madaniyah
Ciri-ciri khas yang membedakan antara surat madaniyah dan Makkiyah ada yang bersifat qath’I dan ada yang bersifat aghlabi
Ciri-ciri yang bersifat qath’I bagi surat Madaniyah antara lain :
a.    Setiap yang mengandung ijin  berijtihad (berperang ) menyebut hal perang dan menjelaskan hokum-hukumnya, adalah Madaniyah
b.    Setiap surat yang memuat penjelasan secara rinci tentang hokum pidana, faraid(warisan), hak-hak perdata, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perdata (civil), kemasyarakatan dan kenegaraaan adalah Madaniyah
c.    Setiap surat yang menyinggung hal ikhwal orang-orang munafik adalah Madaniyah, kecuali al-Ankabut yang di turunkan di Mekkah . hanya sebelas  ayat yang pertama dari surat al-Ankabut ini adalah Madaniyah, dan ayat-ayat tersebut  menjelaskan perihal orang-orang munafik.
d.   Setiap surat yang  membutuhkan kepercayaan/pendirian /tata cara keagamaan ahlul kitab (Kristen dan yahudi) yang di pandang salah, dan mengajak mereka agar tidak berlebih-lebihan dalam menjalankan agamanya, adalah Madaniyah. Seperti surat Al-Baqarah, Ali Imran, al-Nisa’, al-Maidah dan al-Taubat.

Adapun ciri-ciri khas yang bersifat aghlabi bagi Madaniyah antara lain:
a. Sebagian suratnya panjang-panjang, sebagian ayat-ayatnya pun panjang-panjang (Ithnab) dan gaya bahasanya cukup jelas di dalam menerangkan hukum-hukum agama.
b. Menerangkan secara rinci bukti-bukti dan dalil-dalil yang menunjukkan hakikat-hakikat keagamaan.[3]

2.3 Manfaat Ilmu Makkiy dan Madany
a.     Untuk di jadikan alat bantu dalam menafsirkan Qur’an, sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penfsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dan yang mansukhbila di antara kedua ayat tersebut terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh atas yang terdahulu.
b.    Meresapi gaya bahasa Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju jalan Allah, sebab setiap situasi mempunyai gaya bahasa sendiri. Memperhatikan apa yang di kehendaki oleh situasi, merupakan arti paling khusus dalam ilmu retorika. Karakteristik gaya bahasa Makki dan Madani dalam Qur’an pun memberikan kepada orng yang mempelajarinnyasebuah metode dalam penyampaiyan dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kewajiban lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaannya serta mengatasi apa yang ada dalam dirinnya dengan penuh kebijaksanaan. Serta tahapan dakwah mempunyai topic dan pola penyampaian tersendiri. Pola penyampaian itu berbeda-beda, sesuai perbedaan tata cara keyakinan dan kondisi lingkungan. Hal yang demikian Nampak jelas dalam berbagai cara Qur’an menyeru berbagai golongan; orang yang beriman, yang musyrik, yang munafik dan Ahli Kitab.
c.     Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Qur’an sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwa, baik pada periode Makkah atau periode Madinah, sejak pemulaan turun wahyu hingga ayat terahir di turunkan. Qur’an adalah sumber pokok bagi peri hidup Rasulullah. Peri hidup beliau di riwayatkan ahli sejarah harus sesuai dengan Qur’an ; dan Qur’an pun memberikan kata putus terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan.[4]

2.4 Perbedaan  Makkiyah dan Madaniyah
Untuk membedakan Makkiyah dan Madaniyah, para ulama mempunyai tiga macam pandangan yang masing-masing mempunyai dasar sendiri.
1.    Dari segi turunnya. Makkiyah adalah yang di turunkan sebelum Hijrah meskipun bukan di Makkah. Sedangkan Madaniyah adalah yang di turunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di Madinah. Yang di turunkan sesudah hijrah sekalipun di Makkah dan Arafah, adalah Madani, seperti yang di turunkan pada tahun penaklukan kota Makkah
2.    Dari segi tempat turunnya. Makkiyah ialah yang turun di Makkah dan sekitarnnya seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah. Dan Madaniyah adalah yang turun di Madinah dan sekitarnnya, seprti Uhud, Quba, dan Sil. Namun pendapat ini berkonsekuensi tidak adanya pengecualian secara spesifik dan batasan yang jelas. Sebab, yang turun dalam perjalanan, seperti di Tabuk atau Baitul Makdis, tidak termasuk kedalam salah satu bagiannya, sehingga statusnya ytidak jelas, Makkiyah atau Madaniyah. Akibatnya yang di turunkan di Makkah walaupun sesudah hijrah, tetep di sebut Makkiyah.
3.    Dari segi sasarannya.  mendefinisikan Makkiyah ialah surat atau ayat yang khitabnya (seruannya) jatuh pada masyarakat Mekah, sedangkan Madaniyah ialah surat atau ayat yang khitabnya (seruannya) jatuh pada penduduk Madinah . berdasarkan pendapat ini para pendukungnya menyatakan bahwa ayat Al-Qur’an yang mengandung seruan “ ya ayyuhan-nas” (wahai manusia) adalah Makkiyah. Sedangkan ayat yang mengandung seruan “ya ayyuha-ladzina amanu” (wahai orang-orang yang beriman ) adalah Madaniyah.
Namun kalau di teliti dengan seksama ternyata kebanyakan kandungan Al-Qur’an tidak selalu di buka dengan salah satu seruan itu. Penetapan ini tidak konsisten. Misalnya surat Al-Baqarah ayat 21 dan An-Nisa itu di sebut Madaniyah tetapi di dalamnya terdapat ayat yang awalnya berbunyi , “ ya ayyuhan-nas” .[5]

2.5 Perhatian Para Ulama’ Terhadap Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah
Para ulama antusias untuk menyelidiki surat-surat Makkiyah dan Madaniyah. Mereka meneliti Al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi suratuntuk ditertibkan sesuai dengan turunnya dengan memperhatikan waktu, tempat, dan pola kalimat.
a.       Ayat-ayat Makkiyah dalam surat-surat Madaniyah
Dengan menamakan sebuah surat itu Makkiyah atau Madaniyah bukan berarti bahwa surat tersebut seluruhnya adalah Makkiyah atau Madaniyah. Sebab didalam surat Makkiyah terkadang terdapat ayat-ayat Madaniyah dan didalam surat Madaniyah terkadang terdapat ayat-ayat Makkiyah.
Diantara sekian contoh ayat-ayat Makkiyah dalam surat Madaniyah ialah surat Al-Anfal. Surat Al-Anfal adalah Madaniyah tetapi banyak ulama mengecualikan ayat,
øŒÎ)ur ãä3ôJtƒ y7Î/ z`ƒÏ%©!$# (#rãxÿx. x8qçGÎ6ø[ãŠÏ9 ÷rr& x8qè=çGø)tƒ ÷rr& x8qã_̍øƒä 4 tbrãä3ôJtƒur ãä3ôJtƒur ª!$# ( ª!$#ur çŽöyz tûï̍Å6»yJø9$# ÇÌÉÈ
30. Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.
b. Ayat-ayat Madaniyah dalam surat Makkiyah
Misalnya surat Al-An’am. Ibnu Abbas berkata, “Surat ini diturunkan sekaligus di Makkah, maka ia adalah Makkiyah, kecuali 3 ayat yang diturunkan di Madinah, yaitu ayat 151-153,
* ö@è% (#öqs9$yès? ã@ø?r& $tB tP§ym öNà6š/u öNà6øŠn=tæ ( žwr& (#qä.ÎŽô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ( Ÿwur (#þqè=çFø)s? Nà2y»s9÷rr& ïÆÏiB 9,»n=øBÎ) ( ß`ós¯R öNà6è%ãötR öNèd$­ƒÎ)ur ( Ÿwur (#qç/tø)s? |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $yg÷YÏB $tBur šÆsÜt/ ( Ÿwur (#qè=çGø)s? š[øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ö/ä3Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ ÷/ä3ª=yès9 tbqè=É)÷ès? ÇÊÎÊÈ Ÿwur (#qç/tø)s? tA$tB ÉOŠÏKuŠø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4Ó®Lym x÷è=ö7tƒ ¼çn£ä©r& ( (#qèù÷rr&ur Ÿ@øx6ø9$# tb#uÏJø9$#ur ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿw ß#Ïk=s3çR $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr ( #sŒÎ)ur óOçFù=è% (#qä9Ïôã$$sù öqs9ur tb%Ÿ2 #sŒ 4n1öè% ( ÏôgyèÎ/ur «!$# (#qèù÷rr& 4 öNà6Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ ÷/ä3ª=yès9 šcr㍩.xs? ÇÊÎËÈ ¨br&ur #x»yd ÏÛºuŽÅÀ $VJŠÉ)tGó¡ãB çnqãèÎ7¨?$$sù ( Ÿwur (#qãèÎ7­Fs? Ÿ@ç6¡9$# s-§xÿtGsù öNä3Î/ `tã ¾Ï&Î#Î7y 4 öNä3Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÎÌÈ
151.  Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar[518]". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
152.  Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu)[519], dan penuhilah janji Allah[520]. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.
153.  Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)[152], Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.
c. Yang diturunkan di Makkah namun hukumnya Madaniyah
Mereka member contoh dengan firman Allah surat Al-Hujurat ayat 13
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
13.  Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat ini diturunkan di Makkah pada hari penaklukan kota Makkah, tetapi sebenarnya Madaniyah karena diturunkan setelah hijrah.
d. Ayat yang diturunkan di Madinah tetapi hukumnya Makkiyah
mereka member contoh dengan surat Al-Mumtahanah. Surat ini diturunkan di Madinah dilihat dari segi tempat turunnya, tetapi seruannya ditujukan kepada orang musyrik penduduk Makkah.
e. Yang serupa dengan yang diturunkan di Makkah dalam kelompok Madaniyah
Yang dimaksud para ulama disini, ialah ayat-ayat yang terdapat dalam surat Madaniyah tetapi mempunyai gaya bahasa dan cirri-ciri umum yang sepertisurat Makkiyah. Contohnya, adalah firman Allah dalam surat Al-Anfal yang Madaniyah,
øŒÎ)ur (#qä9$s% ¢Oßg¯=9$# bÎ) šc%x. #x»yd uqèd ¨,ysø9$# ô`ÏB x8ÏZÏã öÏÜøBr'sù $uZøŠn=tã Zou$yfÏm z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# Írr& $oYÏKø$# A>#xyèÎ/ 5OŠÏ9r& ÇÌËÈ
32.  Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: "Ya Allah, jika betul (Al Quran) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, Maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih".
Hal ini dikarenakan permintaan kaum musyrikin untuk disegerakan adzab adalah di Makkah.
f. Yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam kelompok Makkiyah
Yang dimaksud dengan para ulama ialah kebalikan dari yang sebelumnya. Mereka member contoh dalam surat An-Najm ayat 32
      tûïÏ%©!$# tbqç7Ï^tGøgs uŽÈµ¯»t6x. ÉOøOM}$# |·Ïmºuqxÿø9$#ur žwÎ) zNuH©>9$# 4 ¨bÎ) y7­/u ßìźur ÍotÏÿøóyJø9$# 4 uqèd ÞOn=÷ær& ö/ä3Î/ øŒÎ) /ä.r't±Sr& šÆÏiB ÇÚöF{$# øŒÎ)ur óOçFRr& ×p¨ZÅ_r& Îû ÈbqäÜç/ öNä3ÏG»yg¨Bé& ( Ÿxsù (#þq.tè? öNä3|¡àÿRr& ( uqèd ÞOn=÷ær& Ç`yJÎ/ #s+¨?$# ÇÌËÈ
32.  (yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha luas ampunanNya. dan dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.
Dosa-dosa besar ialah setiap dosa yang mengakibatkan siksa neraka. Dan kesalahan-kesalahan kecil ialah apa yang terdapat diantara kedua batas dosa-dosa di atas. Sementara itu, di Makkah belum ada sanksi dan yang serupa dengannya.











BAB III
PEMBAHASAN
Kita sangat memerlukan ilmu yang berpautan dengan Makky dengan Madany karena surat-surat yang terdapat dalam Al-Qur’an adakala Makkiyah dan adakala Madaniyah. Dan adakala ayat-ayat dari surat Makkiyah yang turun di Madinah, sebagaimana ada ayat-ayat dari surat Madaniyah yang turun di Mekah, sebagaimana pula setiap ayat dalam Al-Qur’an mempunyai cirri-ciri sendiri dengan cirri-ciri itu dapatlah kita menggolongkan ayat-ayat itunke dalam golongan Makkiyah atau ke dalam Madaniyah.
Memang perlulah kita memperhatikan seluruh surat dan seluruh ayat untuk mengetahui Makkiyah atau Madaniyah dengan memperhatikan cirri-ciri khas dari ayat-ayat itu.
Mengetahui Makkiyah dan Madaniyah adalah suatu hal yang harus di perhatikan benar-benar. Untuk dapat menentukan marhalah-marhalah Islamiyah dan mengetahui langkah-langkah yang beransur-ansur di tempuh oleh Al-Qur’an dan dapat pula kita mengetahui persesuaiannya ayat-ayat itu dengan lingkungan Makkiyah dab Madaniyahserta dapat pula kita mengetahui uslub-uslub Makkiyah dan Madaniyah dalam mengahadapi orang mukmin , orang Musyrikin dan Ahli kitab.
Seorang mufasir haruslah ,mengetahui ayat-ayat yang turun di Mekkah mengenai penduduk Madinah dan ayat-ayat yang turun di Madinah mengenai penduduk Mekkah. Kemudian ayat-ayat yang turun di Al Juhyah (sebuah koya kecil lebih kurag 4 marhalah dari Mekkah) ayat-ayat yang turun di Baitul Maqdis, yang turun di dha’if, dan Hudaibiyah dan yang turun di malam hari, yang turun di siang hari, yang turun dengan di antar oleh srjumlah malaikat. Dan harus pula di ketahui ayat-ayat Makkiyah yang terdapat dalam surat-surat Madaniyah dan ayat-ayat Madaniyah yang terdapat dalam surat Makkiyah. Demikian pula ayat-ayat yang di bawa dari Mekkah ke Madinah dan dari Madinah ke Makkah, dan dari Madinah ke Habsyah , yang turun secara mujmal , yang di turunkan secara marmuz (secara isyarat). Kemudian yang di perselisihkan karena ada yang mengatakan Makky dan ada yang mengatakan Madany. Semua itu ada 25 macam. Orang yang mengetahuinya dan tidak dapat membedakannya yang satu dengan yang lain, tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an. Demikian di terangkan oleh Al-Zarkasyi dalam kitab Al-Burham.
Dengan pemeriksaan yang mendalam para ulama dapat membedakan antara ayat-ayat yang mirip dengan ayat-ayat yang turun di Madinah yang terdapat dalam surat Makkiyah dan ayat-ayat yang mirip dengan ayat-ayat Makkiyah, yang terdapat dalam surat Madaniyah.
Maka tidak harus kita menganggapnya, ayat Madaniyah walaupun ayat itu mirip dengan ayat Madaniyah. Yang turun di Madinah, maka janganlah kita mengatakan ayat makkiyah, walaupun ayat itu mirip dengan  ayat yang turun di Mekkah. Dan kadang-kadang ada kemiripan antara ayat Makkiyah dan ayat Madaniyah, menyebabkan pebahas-pembahas yang terlalu cepat bertindak tidak lagi memperhatikan fase-fase yang penting dalam sejarah dakwah Islamiyah. Tetapi ulama-ulama yang kepercayaan telah menjelaskan yang demikian itu dengan sempurna. Oleh karena itu maka tiap-tiap lafal ada maknanya.
Kita berpendapat, sesudah kita memperhatikan bagaimana ketanya ulama-ulama kita dalam menyelidiki ayat-ayat Mekkah dan ayat-ayat Madinah, bawa riwatay-riwayat yang shahih itulah satu-satunya jalan dalam menertibkan surat-surat Al-Qur’an dari masa ke masa, sedang riwayat-riwayat itu pula di sampaikan oleh para sahabat yang mendengar sendiri, atau  oleh tabi’in yang mendengar sendiri dari sahabat.
Rasul sendiri tidak menerangkan apa-apa tentang hal itu, karena yang demikian itu, tidaklah merupakan tugas Rasul dan tidak pula merupakan ilmu yang wajib di ketahui oleh semua umat.
Kita tidak dapat meragui, bahwa kebanyakan sahabat mengetahui dengan sempurna mana yang Makkiyah dan mana yang Madaniyah yang memungkinkan mereka  meneliti secara keseluruhan, yang mana hasil-hasil penelitian mereka terdapat dalam kitab-kitab tafsir bil-matsur dan kitab-kitab ulumul Qur’an.
Kita dapat menetapkan, bahwasannya para sahabat mempunyai ilmu yang luas dalam bidang ini.



BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1.    Ilmu al Makki wa al Madani di definisikan sebagai ilmu yang membahas klasifikasi surat-surat dan ayat-ayat yang di turunkan di Makkah dan Madinah.
2.     Makkiyah adalah ayat/surat yang turunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sekalipun turunya di luar Makah Sedangkan  Madaniyah adalah surat atau ayat yang di turunkan sesudah Nabi Hijrah, meskipun turunnya di Mekkah
3.    Ciri-ciri khas yang membedakan antara surat madaniyah dan Makkiyah ada yang bersifat qath’I dan ada yang bersifat aghlabi
4.    Perbedaan Makkiyah dan Madaniyah di lihat dari tiga macam pandangan di lihat dari segi turunnya, segi tempat turunnya, segi sasarannya.




















DAFTAR PUSTAKA

Zuhdi,Masjfuk. 1997. Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: CV. KARYA            ABDITAMA
Ash Shiddieqy,Teuku Muhammad Hasby. 2002. Ilmu-ilmu Al Qur’an, Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA
Muhammad, Ismail. 2002. Prinsip-prinsip Pemahaman Qur’an dan Hadits.             Jakarta: KHAIRUL BAYAN
Syekh Manna, Al-Qaththani. 2008.  Pengantar Study Ilmu Qur’an. Jakarta:            PUSTAKA AL-KAUTSAR
Manna’ Khalil, Al-Qattan. 2010. Study Ilmu-ilmu Qur’an. Jakarta: PT.PUSTAKA             LITERA ANTARNUSA



[1] Drs. H. Masjfuk Zuhdi.1997. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya: KARYA ABDITAMA hal 64
[2] Muhammad Ismail. 2002. Prinsip-prinsip Pemahaman Qur’an dan Hadits. Jakarta: KHAIRUL BAYAN 103-105
[3] Drs. H. Masjfuk Zuhdi.1997. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya: KARYA ABDITAMA hal 71-73
[4] Manna Khalil Al-Qattan. 2008.  Pengantar Study Ilmu Qur’an. Jakarta: PUSTAKA AL-KAUTSAR hal 81-82

[5] Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2008. Pengantar Study Ilmu Qur’an. Jakarta: PUSTAKA AL-KAUTSAR hal  73-75